Rabu, 23 November 2016

TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN



TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN

Makalah ini ditujukan guna memenuhi tugas mata kuliah :
HADITS
Dosen Pengampu :
Drs. H. M. Aswad
 
















Disusun Oleh :
Andini Nursyarifah       (11150530000049)
Arif Indriyanto              (111505300000)

Jurusan Manajemen Dakwah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

            Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya, kelompok kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para sahabatnya. Serta tak lupa pula kepada kita semua selaku umatnya hingga akhir zaman. Amiin.
            Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah FIQIH oleh dosen pengampu Bpk. Aswad. Kami ucapkan terima kasih kepada beliau atas bimbingan dan saran sehingga terwujudnya makalah ini.
            Tidak ada yang sempurnya di dunia ini selain Allah SWT. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun, kami harapkan agar terciptanya pendekatan kepada taraf yang sempurna. Dan semoga apa yang tersajikan dalam makalah ini berguna bagi pembaca pada umumnya.

Terima kasih J
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I             : PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Pembahasan Makalah

BAB II            : PEMBAHASAN
A.     Setiap Muslim Merupakan Pemimpin
B.     Pemimpin Adalah Abdu Masyarakat
C.     Batas Ketaatan Kepada Pemimpin

BAB III          : PENUTUP
A.     Kesimpulan



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Gelar pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.
Tidak hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.

B.     Rumusan Masalah

1.      Jelaskan yang dimaksud dengan Setiap Muslim Merupakan Pemimpin!
2.      Apa yang dimaksud dengan Pemimpin adalah Abdi Masyarakat?
3.      Apa batasaan ketaatan kepada pemimpin?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui bahwa setiap muslim merupakan pemimpin.
2.      Untuk menjelaskan bawa pemimpin adalah abdi masyarakat.
3.      Untuk mengetahui batasan mentaati pemimpin.


BAB II
PEMBAHASAN
Tanggung Jawab Kepemimpinan

A.        Setiap Muslim Merupakan Pemimpin
Musaddad bercerita : Yahya bercerita, berkata Ubaidillah : aku bercerita kemanfaatan, dari Abdullah R.A : Bahwasannya telah bersabda Rasulullah SAW : ((Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Setiap pemimpin atas semua manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin atas keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarga yang dipimpinnya. Seorang perempuan (istri) adalah pemimpin atas rumah (harta) suami dan anak-anaknya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang hamba (pembantu) adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Ketauhilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya)).
Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia W. J. S. Poerwadarminta adalah “keadaan wajib menanggung segala sesuatu” artinya jika ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya. Tanggung jawab ini pula memiliki arti yang mempunyai arti, yang dilakukan kemudian ia berani memikul segala resikonya.
Seperti yang disampaikan oleh Al-Hadits, Shahih Bukhari no. 2554 “Setiap orang dari kamu adalah pemimpin, dan kamu bertanggung jawab atas kepemimpinan itu”. Makna dari istilah tanggung jawab adalah siap menerima kewajiban atau tugas. Arti tanggung jawab di atas semestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap orang.
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Dan sisi si pembuat ia harus menyadari akibat perbuatannya itu, dengan demikian ia sendiri pula yang hams memulihkan ke dalam keadaan baik. Dan sisi pihak lain, apabila si pembuat tidak mau bertanggung jawab, pihak lain yang akan memulihkan baik dengan cara individual maupun dengan cara kemasyarakatan.
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadapkeluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.


B.        Pemimpin Adalah Abdi Masyarakat

Abu Nu’aim bercerita : Abu Al-Asyhab bercerita, dari Hasan : Bahwasannya Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qil bin Yasar yang sedang sakit dan ia meninggal karenanya (sakit), maka Ma’qil berkata kepada Ubaidillah : Akan ku ceritakan sebuah Hadits yang aku dengar dari Rasulullah SAW : Aku mendengar Nabi SAW bersabda : ((Tidaklah seorang hamba yang Allah telah titipkan kepemimpinan dan ia tidak menasihatinya, maka ia tidak akan mencium wanginya surga))
Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik an selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
Sebagaiman firman Allah ta’ala: “dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)
Yakni janganlah bersikap tinggi terhadapa mereka, jangan merasa tinggi akan tetapi rendahkanlah walaupun kamu orang yang berkedudukan tinggi dibanding mereka, maka hendaklah tetap merendahkan diri.
Asbabun nuzul ayat tersebut adalah, dalam suatu riwayat dikemukakan ketika Rasulullah saw memulai dakwahnya kepada keluarga terdekatnya. Hal ini menyinggung perasaan kaum muslimin (merasa terabaikan) sehingga Allah menurunkan ayat selanjutnya ayat 215 sebagai perintah untuk juga memperhatikan kaum mu’minin lainnya (diriwayatkan oleh ibnu Jabir yang bersumber dari ibnu Juaid).
Maka dari itu, siapa saja yang berkuasa mengendalikan urusan umat Islam, baik dalam kedudukannya sebagai amir (gubernur), khalifah, kepala Negara/pemimpin rakyat dalam biang tugas tertentu, lalu dia dibebankan rakyatnya dan menjalankan pemerintahannya itu dengan hal-hal yang menimbulkan kesulitan bagi rakyatnya. Maka nabi mendoakan supaya sang pemimpin itu ditimpakan siksaan Tuhan.
Sebaliknya barang siapa yang menjadi pemimpin dan bertinak dengan lemah lembut. Maka Nabi mendoakan mudah-mudahan Tuhan juga lemah lembut terhadap dirinya.


C.   Batas Ketaatan Kepada Pemimpin
Umar bin Hafsi bin Ghiyats bercerita : Bapakku bercerita : A’masy bercerita : Sa’ad bin Ubaidah bercerita, dari Abi Abdurrahman, dari Ali R.A : Rasulullah SAW mengutus pasukan dan mengangkat seorang laki-laki dari kaum Ansor untuk memimpin tentara dan Nabi memerintahkan tentara untuk menaatinya. Laki-laki itu marah kepada tentara dan berkata : “Bukankah Nabi SAW telah memerintahkan kalian untuk mengikutiku?”. Tentara itu menjawab : “Ya”. Laki-laki itu berkata : “Aku memerintahkan kepada kalian untuk mengumpulkan kayu bakar dan nyalakan api, kemudian masuklah kalian kedalamnya”. Maka mereka mengumpulkan kayu dan membakarnya. Tetapi tatkala mereka hendak masuk kedalam kubaran api, mereka berdiri dan menatap satu sama lain, sebagian mereka berkata : “kami hanya mengikuti Nabi SAW yang menjauhi api, apakah kami harus mengikuti nya ? “. Ketika mereka berselisih seperti itu tiba-tiba api itu mati dan laki-laki itu berhenti dari kemarahan nya. Maka dikataka permasalahan itu kepada Nabi SAW, dan Nabi bersabda : ((seandainya mereka memasuki api itu maka mereka tidak akan keluar selamanya, sesungguhnya taat hanya pada kebaikan)).
Firman Allah SWT: “kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS. An-Nisa: 59)
Masih berkaitan dengan surah annisa ayat 59, al-hafidh ibnu hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin hudzafah, munasabah atau keterkaitan disangkut pautkan dengan alasan turunnya ayat ini (surah an-nisa: 59), karena dalam kisah itu dihasilkan adanya perbatasan antara taat kepada pemerintah (pimpnan) dan menolak perintah, ntuk terjun ke dalam api. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya.
Karena perintah penguasa itu terbagi tiga bagian:
  1. Perintah yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah ta’ala maka wajib ditaati
  2. Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan metaati mereka apapun yang terjadi jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal ini (tidak mentaati) maka mereka akan dibalas pada hari kiamat oleh Allah SWT
  3. Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak ada perintah atau larangan syar’I, di dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati termasuk orang-orang yang berdosa, dan penguasa berhak ember hukuman dengan sesuatu yang mereka pandang sesuai, karena telah melanggar perintah Allah dalam mentaati mereka.
Maka dari itu wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama yang diperintahkannya itu tidak merupakan perbutan maksiat.
Apabila yang diperintahkan itu merupakan perbuatan maksiat yang tidak dibenarkan oleh syara’, maka rakyat tidak boleh mendengar dan mematuhi perintah itu.

Bercerita Musaddad : Yahya bin Sa’id Bercerita, dari Ubaidillah : menceritakanku kemanfaatan, dari Abdullah R.A, dari Nabi SAW bersabda : ((Mendengar dan menaati atas seorang muslim dalam hal suka ataupun benci, selama tidak memerintahkan kepada maksiat, apabila diperintahkan kepada kemaksiatan, maka janganlah mendengar serta mentaatinya))
Sabda Rasulullah saw: “wajib atas seorang muslim”, kalimat ini menunjukkan kewajiban. Maka wajib bagi seseorang muslim berdasarkan keislamannya untuk selalu mendengarkan dan menaati pemerintah. Baik dalam hal yang ia sukai maupun yang ia benci. Walaupun ia memerintahkan dengan sesuatu yang dibencinya, namun ia wajib melaksanakannya, kecuali jika perintah itu bermaksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah itu diatas segala ketaatan. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat terhadap khaliq.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Dan sisi si pembuat ia harus menyadari akibat perbuatannya itu, dengan demikian ia sendiri pula yang hams memulihkan ke dalam keadaan baik. Dan sisi pihak lain, apabila si pembuat tidak mau bertanggung jawab, pihak lain yang akan memulihkan baik dengan cara individual maupun dengan cara kemasyarakatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar