Rabu, 23 November 2016

DEMOKRASI



PENGERTIAN DEKOKRASI
Apa itu demokrasi ?
Secara etimologis, kata demokrasi (dari bahasa Yunani) adalah berbentukan dari dua kata demos (rakyat) dan cratein  atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan). Perpaduan dua kata tersebut membentuk kata demokrasi yang memiliki pengertian sebagai bentuk pemerintahan rakyat (government of the people) dimana kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan secara langsung oleh rakyat dan melalui para wakil mereka melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung secara bebas. Secara subtansional, demokrasi adalah – sepertti yang pernah dikatakan oleh Abrahan Lincolm – suatu pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat.
Sejarahnya, demokrasi sering bersanding dengan kebebasan (freedom). Namun demikian, demkrasi dan kebebasan tidaklah identic: demokrasi merupakansebuah kumpulan ide dan prinsip tentang kebebasan, bahkan juga mengandung sebuah praktik dan prosedur menanggapi kebebasan yang berbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Secara singkat, demokrasi merupakan bentuk institusional dari kebebasan (institutionalization of freedom). Bersandar pada argument ini, untuk melihat apakah suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis  atau tidak terletak pada sejauh mana oemerintahan tersebut berjalan pada prinsip konstitusi, hak asasi manusia, dan persamaan warga negara dihadapan hukum.
Hakikat demokrasi adalah proses bernegara yang bertumpu pada peran utama rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan. Dengan kata lain, pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang meliputi tiga hal mendasar : pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintarahn oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people). Ketiga prinsip demokrasi ini dapat dilakukan ini dapat dilakukan sebagai berikut :
1.      Pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui meokrasi, pemilihan umum.
2.      Pemerintarahn oleh rakyat (government by the people) memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan priadi elite negara atau elite birokrasi.
3.      Pemerintahan untuk rakyat (government for the people) mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat.

NORMA DAN PILAR DEMOKRASI
Demokrasi tidak datang dengan tiba-tiba dari langit. Ia merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran, dan penghayatan. Untuk tujuan ini dukungan sosial dan lingkungan demokratis adalah mutlak dibutuhkan.
Menjadi demokratis membutuhkan norma dan rujukan praktis serta teoretis dari masyarakat yang telah maju dalam berdemokratis. Menurut cendikiawan Muslim Nurcholish Madjid, pandangan hidup berdemokratis dapat bersandar pada bahan-bahan yang telah nerkembang, baik secara teoretis maupin pengalaman praktis di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan. Setidaknya ada enam norma atau unsur pokok yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat yang demokratis, yaitu :
1.      Kesadaran akan pluralisme. Kesadafan akan kemajemukan tidak sekadar pengakuan pasif akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Kesadaran atas kemajemukan yang menghendaki tanggapan dan sikap positif  terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif. Pengakuan akan kenyataan perbedaan harus diwujudkan dalam sikap dan prilaku meghargai dan mengakomodasi beragam pandangan dan sikap orang dan kelompok lain, sebagai bagian dari kewajiban warga negara san negara untuk menjaga dan melindungi hak orang lain untuk diikutin keberadaannya.
2.      Musyawarah. Makna dan semangat musyawarah ini ialah mengharuskan adanya jeinsafan dan kedewasaan warga negara untuk secara tulus menerima kemungkina untuk melakukan negosiasi daan kompromi-kompromi sosial dan politik secara damai dan bebas dalam keputusan bersama.
3.      Cara haruslah sejalan dengan tujuan. Norma ini menekankan bahwa hidup berdemokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. Dengan ungkapan lain, demokrasi oada hakikatnya tidak hanya sebatas pelaksanaan prosedur-prosedur demokrasi, tetapi harus dilakukan secara santun dan beradab, yakni melalui proses pelaksanaan demokrasi yang dilakukan tanpa paksaan, tekanan, dan ancaman dari dan oleh siapapun, tetapi dilakukan secara sukarela, dialogis, dan saling menguntungkan.
4.      Norma kejujuran dan pemufakatan. Suasana masyarakat demokratis dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan  yang jujur dan sehat untuk mencapai kesepakatan yang memberi keuntungan semua pihak.
5.      Kebebasan nurani, persamaan hak, dan kewajiban. Pengakuan akan kebebasan nurani (freedom conscience), persamaan hak dan kewajiban bagu semua (egalitarinisme) merupakan norma demokrasi yang harus diinterasikan dengan sikap percaya pada itikad yang baik jika ditopang oleh pandangan positif dan optimia terhadap manusia.
6.      Trial and error (percobaan dan salah) dalam berdemokrasi. Demokrasi membutuhkan percobaan-percobaan dan kesediaan semua pihak untuk menerima kemungkinan, ketidaktepatan atau kesalahan dalam berdemokrasi.

Dalam praktik pemerintahan yang dibangun berdasarkan prinsip demokrasi, terdapat beberapa pilar-pilar demokrasi sebagai indikator umum sebuah pemerintahan demokrasi konstitusional. Pakar politik J. Kristiadi menyebutkan sepuluh pilar demokrasi sebagai berikut:
1.      Kedaulatan rakyat
2.      Pemerintahan berdasarkn persetujuan yang diperintah
3.      Kekuasaan mayoritas (hasil pemilu)
4.      Jaminan hak-hak minoritas
5.      Jaminan hak-hak asasi manusia
6.      Persamaan di depan hukum
7.      Proses hukun yang beradilan
8.      Pembatasan kekuasaan pemerintah melalui konstitusi
9.      Pluralisme sosial
10.  Dikembangkannya nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.


DEMOKRASI INDONESIA

Sejarah demokrasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam empat periode :
1.      Periode 1945-1959
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan. Namun demikian, model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi untuk mempraktikkan demokrasi model barat ini telah memberi peluang sangat besar kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan sosial-politik.
Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan sistem demokrasi parlementer ini akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan agama. Akibatnya, pemrintahan yang berbasis pada koalisi politik lada masa ini jarang bertahan lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pevah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang sedang di bangun. Persaingab tidak sehat antara faksi-faksi politik dan pembentrokan daerah terhadap pemerintahan pusat yang mengancam berjakannya demokrasi itu sendiri.

2.      Periode 1959-1965
Periode ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (guided democracy). Ciri-ciri demokrasi ini adalah demokrasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peran tentara (ABRI) dalam panggung politik nasional. Hal ini disebabkan oleh lahirnya dekrit presiden  5 Juli 1959 sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kebutuhan politik melalui pembentuka kepemimpinan personal yang kuat. Sekalipun UUD 1945 memberi peluang seorang presiden untuk memimpin pemerintahan selama 5 tahun, ketetapan MPRS No. III/1963 mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Dengan lahirnya keteapan MPRS ini secara otomatis telah membatalkan pembatasan waktu 5 tahun sebagai mana keteapan UUD 1945.
Kepemimpinan presiden tanpa batas ini terbukti melahirkan tindakan kebijakan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan UUD 1945. Misalnya, pada tahun 1960 presiden Soekarno membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemikiran umum, padahal dalam penjelasa UUD 1945 secra eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak memenuhi wewenang untuk berbuat demikian. Dengan kata lain, sejak diberlakukan  dekrit presiden 1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh presiden Soekarno.

3.      Periode 1965-1998
Periode ini merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Barunya. Sebutan Orde Baru merupakan kritik  terhadap periode sebelumnya, orde lama.seiring pergantian kepemimpina nasional, demokrasi terpimpin ala Presiden Soeharto telah di ganti oleh elit orde baru dengan demokrasi pancasila.
Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya yang menetapkan masa jabatan presiden seumur hidup untuk Presiden Soekarno telah dihapuskan dan diganti dengan pembatasan jabatan presiden 5 tahun dan dapat dipilih kembali melalui proses pemilu.
Seperti dikatakan oleh M. Rusli Karim, ketidakdemokratisan penguasa orde baru ditandai oleh:
(1)   Dominannya peranan militer (ABRI)
(2)   Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik
(3)   Pengebirian peran dan fungsi partai politik
(4)   Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan public
(5)   Politik masa mengambang
(6)   Monolitisasi ideology Negara
(7)   Inkorporasi lembaga non-pemerintahan.

4.      Periode Pasca-Orde baru
Periode pasca orde baru sering disebut dengan era reformasi. Periode ini erat hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan demokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan orde baru pada Mei 1998 setelah lebih dari 30 tahun berkuasa dengan demokrasi pancasilanya.
Pengalaman pahit yang menimpa pancasila, yang pada dasarnya sangat terbuka, inklusif, dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan tokoh reformasi untuk menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Bercermin pada pengalaman manipulasi atas pancasila oleh penguasa orde baru, demokrasi yang hendak dikembangkan setelah kejatuhan rezim orde baru adalah demokrasi tanpa nama atau demokrasi tanpa embel-embel dimana hak rakyat merupakan komponen inti dalam mekanisme dan pelaksanaan pemerintah yang demokratis. Wacana demokrasi pasca orde baru erat kaitannya dengan pemberdayaan masyakat madani (civil society) dan penegakkan HAM secara sungguh-sungguh.

ISLAM DAN DEMOKRASI
Terdapat tiga pandangan terhadap Islam dan demokrasi : Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua system politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi karena Islam merupakan system politik yang mandiri (self-sufficient). Dalam bahasa politik, Islam sebagai agama yang affah (sempurna) tidak saja mengatur keimanan (akidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk aspek kehidupan bernegara. Pendapat ini didukung oleh kalangan pemikir muslim seperti Sayyid Qutb dan Thabathabai.
Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi jika demokrasi didefinisikan secara secara procedural seperti di fahami dan dipraktikkan di negara-negara barat. Kelompok kedua ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Tetapi mengakui adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Dalam pandangan ini, demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara tokoh ini adalah Al-Maududi dan Moh. Natsir.
Ketiga, Islam adalah system  iai yang membenarkan dan mendukung system politik demokrasi seperti yang dipraktikkan di negara-negara maju. Islam di dalam dirimya demokratis tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma’ (consensus). Seperti yang dinyatakan oleh pakar ilmu politik R. William Liddle dan Saiful Mujani, di Indonesia pandangan yang ketiga karena demokrasi sudah menjadi bagian integralsitem pemerintahan Indonesia dan beberapa negara Muslim lainnya.
Terdapat beberapa argument teoritis yang bisa menjelaskan lambannya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam. Pertama, pemahaman doctrinal menghabat praktik demokrasi.
Kedua, personal kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara muslim sejak paruh pertama abad ke dua puluh, tetapi gagal. Tampaknya, ia tidak akan sukes pada masa-masa mendatang, karena warisan kulturan masyarakat Muslim sudah terbiasa denga autokrasi dan ketaatan absolut kepada pemimpin, baik pemimpin agama maupun penguasa.
Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di negara Islam tidak ada hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sitem alamiyah demokrsi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran, dan di atas segalanya adalah waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar