PENGENALAN TUHAN LEWAT HIDAYAHNYA
Makalah ini
ditujukan guna memenuhi tugas mata kuliah :
AQIDAH ILMU KALAM
Dosen Pengampu
:
Ibu Jundah
Disusun Oleh :
Andini Nursyarifah (11150530000049)
Yuri Waish Ashtonia (11150530000060)
Jurusan Manajemen
Dakwah
Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya, kelompok kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa tercurah
limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya dan para
sahabatnya. Serta tak lupa pula kepada kita semua selaku umatnya hingga akhir
zaman. Amiin.
Makalah ini kami
susun guna memnuhi tugas mata kuliah AQIDAH ILMU KALAM oleh dosen pengampu Ibu
Jundah. Kami ucapkan terima kasih kepada beliau atas bimbingan dan saran
sehingga terwujudnya makalah ini.
Tidak ada yang
sempurnya di dunia ini selain Allah SWT. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
sifatnya membangun, kami harapkan agar terciptanya pendekatan kepada taraf yang
sempurna. Dan semoga apa yang tersajikan dalam makalah ini berguna bagi pembaca
pada umumnya.
Terima kasih J
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I :
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Tujuan Makalah
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Mengenal Tuhan Lewat Hidayahnya
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyak
orang yang mengaku mengenal Allah, tapi mereka banyak melanggar perintah dan
larangan Allah SWT.. Sebabnya karena mereka tidak mengenal Allah dengan
sebenarnya-benarnya. Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka
selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal
Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara
kita melanggar perintah dan larangan-Nya? Sekilas membahas persoalan bagaimana
mengenal Allah bukan suatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk
apa hal demikian dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal
pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua? Kalau mengenal Allah
sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya
ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan
musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan
demikian. Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu, mengenal Allah yang akan
membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan
ketundukan yang hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk
ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menentramkan
hati kita ketika orang-orang mengalami gundah – gulana dalam hidup, mendapatkan
rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi
segala macam masalah hidup. Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang
masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya
dalam wujud amal. Tanpa pengenalan akan Allah yang benar, kita tidak akan
memiliki pengenalan yang benar mengenai diri. Kalimat yang terkenal ini diambil
dari buku terkenal hasil karya John Calvin, Bapak Reformator di kota Jenewa.
Cara mengenal Allah banyak bentuknya, pada makalah ini penulis akan membahas
cara mengenal Allah melalui sifa hidayah-Nya.
B.
Tujuan
Makalah
1.
Memenuhi tugas mata kuliah Aqidah Ilmu
Kalam
2.
Agar
mahasiswa dapat mengetahui dan memahami bagaimana mengenal Tuhan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengenal Tuhan Lewat Hidayahnya
Mengenal
Allah Melalui Hidayah-Nya Allah memberikan Hidayah kepada makhluknya untuk
menjalankan hidupnya dengan mudah sesuai dengan karakteristiknya masing-masing:
1. Instink (Gharizah) Merupakan hidayah yang dianugerahkan tidak
hanya kepada manusia, tetapi juga kepada binatang. Secara Instingtif, manusia
selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya Tuhan telah
berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan
bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang-orang
primitif. Tylor justru mengatakan bahwa animisme –anggapan adanya kehidupan
pada benda-benda mati– merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun Spencer
mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang
merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa Animisme dan
pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal – usul kepercayaan dan ibadah
tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya
pengalaman setiap manusia yang suka mengalami mimpi. Di dalam mimpi, seorang
dapat berteman terhadap, bercakap-cakap, bercengkerama, dan sebagainya dengan
orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang
mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah
membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa
apa yang telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya
roh itu akan segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan
terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap
benda-benda langit atau alam lainnya. Abbas Mahmoud Al-Akkad, pada bagian lain,
mengatakan bahwa sejak pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang,
di wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap benda – benda alam berkembang
secara beragam. Di Mesir, masyarakatnya memuja Totetisme. Mereka menganggap
suci terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa ( semacam anjing hutan ),
buaya, dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap
matahari. Dari sini berkembang lagi menjadi percaya adanya keabadian dan
balasan bagi amal perbuatan yang baik. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan
adanya Tuhan, secara instingtif, telah berkembang sejak keberadaan manusia
pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William L. Reese mengatakan bahwa
ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia,
telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari
sebuah mitos ( thelogia was originally viewed as concerned with myth ).
Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi “ theology natural “ ( teologi alam
) dan “revealed theology “ ( teologi wahyu ).
2. Panca Indra Yaitu, petunjuk yang dianugerahkan berupa
pendengaran, penglihatan, penciuman, dll. Dengan indra, manusia dapat
membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya. Akan tetapi,
hidayah dalam bentuk ini belum dapat mengantarkan manusia kepada kebenaran,
karena kemampuannya yang sangat terbatas. Karena itu, Allah SWT. menyempurnakan
hidayah ini dengan hidayah akal. Setiap manusia mempunyai pendapat dan prinsip
tersendiri terhadap apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan.Setelah kita
mengenal Tuhan melalui Insting selanjutnya kita mengenal Tuhan melalu Panca
Indra. Dari 5 panca indra kita yang berfungsi, kita dapat melihat bahwa
kebesaran Allah ada dimana-mana, dari sekeliling kita sudah banyak bukti-bukti
kebesaran Allah yang kita jumpai. Seperti halnya Lautan yang membentang lepas
dua benua, gunung-gunung dengan fenomena lautan, awan, dan lain sebagainya.
Tidak hanya dari penglihatan namun kita juga bisa mendengar, contoh kecil saja
kita dapat mendengar orang-orang atau makhluk hidup disekitar kita, kita dapat
mendengar deburan ombak yang padahal hanyalah benda mati namun itulah kekuasaan
Allah. Selain melihat dan mendengar kita juga dapat mengenal Tuhan dengan cara
merasakan, merasakan hal-hal yang tak kasat mata seperti angin, merasakan
dinginnya hawa dan air disekitar pegunungan, dan lain sebagainya.
3. Akal Yaitu, hidayah akal berupa kemampuan akal untuk memikirkan,
memahami, dan mengetahui suatu objek, yang akan dapat membawanya kepada
kebenaran dan keselamatan hidup. Al-Qur’an menganjurkan manusia agar
memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya, serta memeikirkan, memahami, dan
mengetahui seluk beluknya sebagai ciptaan Allah SWT. Guna memantapkan
keimanannya, seperti terlihat pada Q.S. Ali Imron : 190 “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda
– tanda begai orang-orang yang berakal. Nalar / akal berfungsi dalma
batasan-batasan panca indra dan tidak bisa lepas darinya. Akal jarang sekali
mampu menangkap apa yang di luar jangkauan panca indera, bahkan dalam kegiatan
lahiriah kadang bertentangan dengan nafsu, dan seringkali nafsu itulah yang
mennag. Akal dengan jelas menunjukkan bahwa suatu perbuatan tertentu akan
menyebabkan luka, akan tetapi nafsu memaksa untuk mengabaikan akal. Di sinilah
dibutuhkan hidayah yang keempat, yaitu hidayah Ad-Dien yang merupakan karunia
ilahi kepada manusia yang terbesar. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan
dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diperoleh
dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasih kepada Tuhan
sebelum turunnya wahyu adalah wajib . Baik dan jahat wajib diketahui melalui
akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah
pula wajib . Dari aliran Asyariah, Al-Aasyari sendiri menolak sebagian besar
dari pendapat kaum Mu’tazilah diatas. Dalam pendapatnya segala kewajiban
manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu
menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui
Tuhan, tetapi wahyu lah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan
berterimakasih kepadaNya juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh
kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepadaNya akan mendapat
hukuman. Pendapat Al-Asy’ari akal tidak mampu untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban manusia. Tapi wahyu membawa kewajiban-kewajiban itu.
Menurut Al-Baghdadi, akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui
kewajiban berterimakasih kepada Tuhan karena segala kewajiban hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Al-Ghazali, seperti Al-Asy’ari dan Al-Baghdadi, juga
berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia ;
kewajiban-kewajiban dapat ditentukan oleh wahyu. Adapun pendirian
Al-Syahrastani, itu dapat diketahui dari buku-buku yang berjudul Nihayah
al-iqdam fi ‘ilm al-kalam. Ia sependapat dengan Al-Asy’ari. Al-Maturidi,
bertentangan dengan pendirian Asy’ariah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah, juga
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterimakasih kepada
Tuhan. Dengan demikian bagi Al-Maturidi akal dapat mengetahui 3 persoalan
pokok, sedangkan yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk
dapat diketahui melalui wahyu.
4. Agama Hidayah Ad-Dien (Petunjuk Agama), yaitu berupa wahyu yang
diturunkan Allah SWT.. kepada Rasul untuk disampaikan kepada umatnya atau
kepada manusia seluruhnya, untuk dijadikan sebagi pedoman hidup guna mencapai
kebahagiaan haqiqi di dunia dan akhirat. Wahyu tersebut kemudian dibukukan dan
disebut kitab suci. Kitab suci terakhir yang diturunkan Allah kepada umatnya
ialah Al-Qur’an, yang diturunkan Allah SWT.. kepada Nabi Muhammad SAW.. sebagai
hidayah untuk segenap manusia. Hidayah hanya milik Allah SWT. Oleh sebab itu,
tidak seorang pun yang dapat memberikannya selain Allah SWT; baik dalam bentuk
hidayah yang umum atau yang khusus. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah
SWT.. dalam (Q.S. Al-Qashas : 56) Sesungguhnya kamu tidak akan memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendakinya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerimapetunjuk.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan yang telah penulis uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa: Setelah
mengetahui sifat – sifat Tuhan dan hidayah-Nya penulis dan pembaca dapat
mengenal Tuhan dengan sesungguhnya tidak hanya pada saat-saat tertentu dan
dapat menjalankan segala perintah serta menjauhi segala larangan-Nya. Dan hal
yang muncul adalah rasa takut dan senantiasa bertawakal, berharap,
menggantungkan diri dan tunduk hanya kepada Allah semata yang maha segala –
galanya. Sesungguhnya apa yang Tuhan ciptakan, apa yang ada dalam diri manusia
sendiri adalah semua untuk menunjukan kekuasaan-Nya supaya manusia senantiasa
bersyukur dan tidak menyombongkan diri atas-Nya. Instink, Panca Indra, Akal,
dan Agama semuanya menjawab dari manakah kita sesungguhnya, sehingga manusia dengan
akalnya yang sehat bisa mengenal siapa Dien-Nya. Dengan segala kekurangan dalam
makalah ini, penulis mohon maaf. Semoga makalah ini sedikit banyaknya dapat
bermanfaat dan dapat semakin mendekatkan pembaca dengan Tuhan-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Akkad, op. cit., hlm. 14
Al Iqtisad, hal 84
Al-milal., I/42 Ibid hal. 15, 42,
50, 51, 45, 101.
Nasution, Harun. Teologi Islam.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press) Salemba. 1972. Cet. Ke-5 Raziq, op.,
cit., hlm. 450
http://jalanlurus.blogspot.com/2012/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1
dilihat pada 17 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar