Rabu, 23 November 2016

MAD'U



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Objek dakwah (mad’u) kajiannya merupakan hal yang tak kalah penting dari pada kajian mengenai da’i. Seperti da’I,  mad’u adalah manusia. Kajian mengenai mad’u tak cukup hanya pada klasifikasi, penggolongan atau pengelompokan seperti yang selama ini terjadi. Dalam konteks filsafat dakwah, kajian mengenai mad’u perlu dilihat dalam kedudukannya sebagai manusia baik sebagai individu maupun kelompok, lalu kecendrungan-kecendrungannya baik yang bersifat intelektual, moral (emosional) maupun spiritual.
Pemahaman jatidiri mad’u sebagai manusia dan kecendrungan-kecendrungan dasarnya menjadi sangat penting dalam konteks dakwah untuk selanjutnya dapat dirumuskan pendekatan dan metode yang tepat dan relevan. Tentu metode, teknik dakwah, menjadi tugas ilmu dakwah dan bukan menjadi wilayah kajian filsafat dakwah untuk merumuskannya dan mengujinya secara empiris dilapangan. Disadari keberadaan mad’u mempengaruhi aspek-aspek lain dalam proses dakwah.

1.2. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Klasifikasi Mad’u ?
2.      Sebutkan Mad’u dan Pilihan Metodenya ?

1.3. Tujuan Rumusan Masalah
1.      Agar Mahasiswa Mengetahui Klasifikasi Mad’u
2.      Agar Mahasiswa Mengetahui  Mad’u dan Pilihan Metodenya





















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Klasifikasi Mad’u

1.      Klasifikasi Mad’u Menurut Sikapnya Terhadap Dakwah
Pakar dakwah Abdul Karim Zaidan dalam buku ushul al da’wah, mengelompokan manusia dalam empat kategori berdasarkan sikapnya terhadap dakwah, yaitu
a)      Al-mala’
Dalam alquran, terminologi al-mala’ digunakan untuk arti kelompok sosial yang berstatus sebagai pemuka masyarakat  (asyraf al-qaum) pemimpin masyarakat (ru’usahum)atau yang memiliki wewenang atas masyarakat (sadatuhum). Pakar Al-quran Al Ashfahany menerjemahkan istilah al-mala’ sebagai suatu kelompok orang yang memilki pengaruh atas pandangan umum baik lantaran kewibawaannya maupun kebesaran namanya. Karena pengaruh tersebut kelompok sosial ini mampu menyita perhatian banyak orang dan memiliki kekuatan untuk membangun opini dan citra publik. Kemudian beliau menyingkap kelompok ini secara positif dan karena itu memiliki potensi yang besar dalam hal kebaikan (al-mamlu bi al-jamaah). Senada dengan beliau, yakni ulama tafsir klasik alqurtuby juga memandang al mala sebagai suatu kelompok sosial yang memiliki kelebihan dan karenanya menjadi tumpuan banyak orang dalam memenuhi hajat hidup mereka. Sambil mengutip hadits nabi, al qurtuby menilai bahwa potensi kebaikan kelompok al mala karena keterkaitannya dengan budi pekerti yang baik (husn al-khulq).
Dalam tinjauan Al-quran istilah al-mala’ diulang tidak kurang dari 29 tempat. Dari angka yang disebutkan al quran cenderung  menggunakan kata al mala dalam pengertian pemimpin kaum atau yang serupa dengannya seperti yang dijelaskan diatas. Adapun dalam sebagian tempat lainnya kata al mala digunakan sebagai representasi penyebutan kelompok malaikat  (al-malaikat al-a’la) pemaknaan ini menurut Ar razi bisa dibenarkan karena sejalan dengan makna asal al mala sendiri yakni “yang memenuhi” dan para malaikat adalah kelompok makhluk tuhan yang amat banyak sehingga memenuhi langit (al-mala’ al-a’la / penghuni alam atas) . adapun manusia dan jin, karena diciptakan sebagai penghuni yang memenuhi bumi, maka mereka itu juga disbut sebagai al-mala al-sufla (penghuni alam bawah). Ibnu manzur dengan mengutip hadits nabi juga memberikan pemaknaan yang serupa lebih lanjut ibnu manzur menyimpulkan bahwa al-mala juga bisa di maknai untuk menunjuk pengertian tentang malaikat yang mendekatkan diri (al-malaikat al-muqorrobin).
Berbeda dengan penjelasan tentang sisi positif dari pengertian al mala seperti dijelaskan di atas dalam banyak konteks dakawah nabi-nabi, kata ini dikaitkan dengan kelompok orang yang menentang seruan dakwah. Dalam kasus nabi nuh misalnya, para pemuka kaum ketika itu menyetarakan antara seruan dakwahnya dan sebuah ajaran yang yang menyesatkan(al dolal al mubin). Dalam pandangan pemuka kaum nuh, kebiasaan umum yang biasa dan telah lama mereka kenal dan wariskan dari nenek moyang mereka adalah sebuah kebenaran mutlak, membicarakannya ataupun mengoreksinya dinilai sebagai perbuatan tabu yang sesat. Karena itu, ajakan nabi nuh untuk meninggalkan pandangan umum kaumnya dan mentauhidkan allah dikira sebagai sesuatu yang asing dan menyimpang dari kebenaran umum. Tidak jauh dengan dakwah nuh, nabi hud juga mendapat perlakuan yang serupa. Bahakan terhadap seruan dakwahnya, pemuka kaum nabi hud menjulukinya sebagai orang idiot dan tukang bohong.(al safahah al kazzab). Seraya tidak cukup dengan umpatan dan makian, terhadap seruan dakwah, pemuka kaum nabi syuaib bahkan mengancamnya dan orang-orang yang mengikuti ajakannya dengan mengusir mereka dari tanah airnya.
Di samping penolakan dan penentangannya terhadap dakwah, al quran secara objektif juga menggambarkan perihal kesetiaan kelompok al mala ini terhadap dakwah para nabi walaupun dengan sikap setengah hati. Dalam mendeskripsikan tentang pemuka bani israil misalnya, al quran memaparkan bagaimana mereka meminta saran nabi untuk mengangkat seorang wakil untuk berperang melawan musuh , walaupun pada akhirnya keputusan nabi mereka diterimanya walau dengan tanpa komitmen. Al quran juga menyebutkan tentang sikap koopratif kelompok al mala ketika bermusyawarah dengan raja supaya mendatangkan nabi yusuf untuk menereangkan takwil mimpinya. Dari pemaparan tentang karakteristik kelompok mad’u ini dalam kaitan sikapnya terhadap kebenaran dakwah, diperoleh pemahaman sebagai berikut :
1.      kelompk al mala adalah kaum ekekutif masyarakat yang memiliki pengaruh besar, bila mana mereka beriman, bagi kesuksesan dakwah. Hal demikian, karena kemampuan mereka untuk mengakomodasi massa dan pengaruhnya dalam membentuk opini-opini publik. Masuk dalam kelompok ini adalah pemuka politik (azzuama) dan pemuka agama (al ruhaba), pemuka politik berperan besar untuk menggalang kekuatan masa sedangkan pemuka agama memiliki pengaruh dalam pembentukan opini publik dan sikap keagamaan masyarkat.
2.      kelompok mad’u ini cenderung subjektif dan dipengaruhi oleh rasa gengsi yang teramat tinggi. Dengan karakter seperti itu, bisa dimengerti jika mereka memiliki kecenderungan untuk antipati terhadap kebenaran yang disampaikan oleh dai, apalagi jika yang menyampaikan kebenaran itu adalah orang yang di pandang tidak memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat inilah sisi negatif kelompok ini.
3.      kelompok ini merupakan aset terpenting dalam dakwah, karena kelompok ini merupakan panutan dan sumber rujukan orang banyak. atas dasar hal ini, maka kekuatan dan pengaruh mereka bisa digunakan untuk memperluas jangkauan dakwah .
4.      sikap refresip, koopratif atau setengah hati kelompok al-mala’ , sangat terkait erat dengan kepentingan-kepentingan aubjektif dan hubungan mereka dengan dai. Demikian itu, karena mereka adalah kelompok yang mempertahankan status quo dalam masyarakat. Ketika mereka memandang kebenaran dakwah dapat membahayakan status quo nya, maka sikapnya adalah refresif. Ektika kebenaran dakwah dinilai sebagai suatu hal yang skunder dan komplementer, maka sikapnya akan menjadi setengah hati seperti yang terjadi pada pemuka bani israil. Mereka juga akan menyambut dakwah dengan penuh antusias dan koopratif jika dirasa kebenaran dakwah itu dapat mengokohkan statusnya dan menunjang kepentingannya.




b)      Jumhur al-nas (kelompok mayoritas)
Kelompok ini merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat. Mereka umumnya terdiri dari kaum lemah yang merupakan lapisan terbesar dalam suatu masyarakat. Bagi abdul karim zaidan diantara sekian banyak mad’u jumhu la nas adalah orang-orang yang paling tanggap dalam menerima ajakan dan seruan dakwah. Demikian itu, ditinjau dari dua sudut. Yakni historis dan psikologis. Dari tinjauan historis, mayoritas manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual adalah mereka yang paling simpatik dan paling cepat menerima seruan dakwah para rasul. Yang cukup banyak dijelaskan dalam al-quran dan sirah nabi.
Adapun dari sudut psikologis, mayoritas manusia yang terdiri dari kaum fakir miskin, dan orang-orang lemah, adalah mereka yang selalu berjuang melawan penindasan dan kesewenang-wenangan penguasan dan kaum elit. Dalam kondisi demikian, secara kejiwaan mereka senantiasa mendambakan tampilan ssok yang berwibawa yang memiliki ketulusan untuk bersama-sama memperjuangkan nasib mereka. Sementara itu, kehadiran para rasul dan dakwahnya yang membawa muatan ajaran pembebasan (liberation) dan persamaan (egalitarian), mampu membangkitkan optimisme dan melahirkan harapan-harapan sebagai modal untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Karena alasan itulah mereka senantiasa menyambut kehadiran para rasul,  mengimani kenabiannya, dan melaksanakan seruan-seruannya.
Potensi negatif dari kelompok ini yang juga mampu menghambat akselerasi dakwah, seperti diketahui mayoritas manusia adalah kaum lemah, baik dalam arti fisik maupun intelektual. Secara psikis, mereka juga dikenal sebagai kelompok yang merindukan sosok “ratu adil” atau “pahlawan” yang bersimpatik kepada nasib mereka dan bersedia memperjuangkan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik . dalam kondisi demikian ini, mereka rentan dimanfaatkan oleh segolongan manusia dengan kepentingan-kepentingan tertanam (vested interest) yang mengatasnamakan kelompok mayoritas untuk tujuan pribadi atau kelompoknya. Melalui kekuatan massa, kelompok dengan kepentingan tertanam itu membuat rekayasa yang lambat laun mengakar dan membentuk opini kebenaran publik. Opini kebenaran publik ini kemudian dikonsolidasikan menjadi sebuah kejumudan yang membela status quo dan menghalangi setiap ide pembaruan.
c)      al-munafiqun
Dalam membicarakan kelompok mad’u yang satu ini harus hati-hati karena cukup sulit menentukannya bisa jadi jika kita gegabah kita akan terjerumus dalam sikap curiga mencurigai dan bisa jadi bibit pemecah belah persatuan islam. Untuk menghindari hal tersebut, persoalan ini akan ditelaah melalui tiga sudut pandang yang berbeda, yaitu perspektif kebahasaan, konfirmasi al-quran dan tinjauan sosiohistorisnya.
Dalam pengertian terminologinya, al-nifaq berarti menampakkan sesuatu yang berbeda secara esensial dengan hakikat sebenarnya. Bagi al-ashfahany, kemunafikan adalah suatu sikap keagamaan yang timpang alias tidak utuh, yaitu menerima agam dari satu sisi, tetapi menolaknya dari sisi yang lain (al-dukhul fi syar’i min babin waal-khuruj’anhu min babin). Kemudian menurut pakar bahasa ibn manzur, nifaq merupakan kata sifat, adalah sebuah julukan bagi orang islam yang secara kasat mata menunjukkan keimanan, namun menyembunyikan kekufuran dalam batinnya. Kemunafikan juga dianalogikan sebagai lubang tikus, dari luar memang tidak kelihatan, namun dari dalam menggrogoti iman secara perlahan-lahan. Dengan demikian, seseorang bisa disebut munafik jika keislamannya hanya sebatas formalitas, yakni sekedar untuk memperoleh pengakuan dari golongannya.
Dari perspektif al-quran, pertama-tama yang perlu kita pahami adalah fakta bahwa pembicaraan tentang orang-orang munafik dan kemunafikan tidak lepas dari konteks ayat-ayat madaniah. Bhakan terkaitdengan hal ini, dalam al-quran terdapat satu surat yang berbicara secara spesifik tentang orang-orang munafik, yaitu surah al-munafiqun, yang menurut konsensus pakar tafsir diturunkan pada priode madinah. Menurut analis abdul karim zaidan, hal demikian dikarenakan eksistensi kemunafikan itu sendiri yang baru dapat ditemukan dalam priode madinah, sebagaimana tidak satu pun kaum muslim yang memiliki watak demikian pada priode mekkah. Dalam surat tersebut , Al-quran mendeskripsikan munafiqun sebagai kelompok orang yang secara eksplisit mengakui karasulan nabi muhammad, namun pengakuan tersebut dilakukan secara terpaksa, yakni sebagai tameng demi menaga harta dan nyawa mereka dari ketentuan kaum muslimin. Kaum munafik juga digambarkan sebagai para oportunis yang kafir setelah beriman, maksudnya gemar menjalin konsolidasi dengan pihak musuh (syayatinihim), baik dari kaum musyirikin maupun ahlul kitab yang menentang (Yahudi dan Nasrani). Orang-orang munafik juga dilukiskan sebagai golongan yang telah menyimpang dari sikap beragama yang sejati (fasiq), dan karenanya, mereka menjadi apriori terhadap seruan dakwah (lam tajid al-mawa’iz wa nasa’ih). Terakhir, surat tersebutmenyebutlkan bahwa orang-orang munafik itu amat lihai dalam melakukan provokasi publik dan membuat tekanan psikologis terhadap orang-orang beriman.
Dari tinjauan historis munafik dan kemunafikan memang baru terlihat jelas gejalanya pada fase perkembangan dakwah madinah. Hal demikian dapat dipahami, mengingat watak kemunafikan itu sendiri yang cenderung oportunis dan mencari posisi aman, lahir bersamaan dengan identitas kaum beriman yang ditandai dengan kebangkitan kau politik. Jika kita memaklumi kemunafikan itu muncul dari tekanan sosial (social pressure), yang diakibatkan oleh desakan untuk memperoleh pengakuan komunitas atau kemudahan bisnis, maka sebetulnya keislaman golongan munafik dapat dibilang sebagai keislaman yang formalitas. Karena keberagamaan yang formal mereka cenderung bersikap destruktif (yufsiduna fil al-ardi), dan banyak berbuat maksiat (fasiq) sekalipun mereka mengaku beriman. Sekalipun begitu, faktanya sepanjang sejarah dakwah, orang-orang munafik tetap diakui sebagai bagian dari komunitas beriman. Karena itu pula, mereka selalu menjadi beban bagi dakwah islam, terutama untuk mengidentifikasi siapa darimereka yang tergolong munafik, yang memanfaatkan islam untuk kepentingan-kepentingan subjektif dibalik jargon-jargon keislamannya.
Di awal perkembangan dakwah Islam sejarah menyebut nama Abdullah Bin Ubay Bin Salul sebagai refresentasi dari kelompok munafik. Menurut keterangan sarjan sejarah Husein Haikal, ia adalah orang anshar yang berkomplot baik dengan pengiktu muhammad maupun kelompok yahudi. Ketika Nabi Muhammad menginjakkan kakinya di Madinah, orang ini dan kelompoknya dari kaum Khazraj berharap, dapat menguasai nabi dan orang-orang beriman sesuai dengan kepentingan-kepentingannya. Ketika dalam perkembangan berikutnya, ternyata abdullah ibn ubay melihat kaumnya lebih memilih untuk beriman, maka ia melihat bahwa kesempatan untuk menguasai nabi muhammad telah hilang. Karena itu, orang ini pun ikut beriman meskipun dengan setengah hati sambil mewanti-wanti untuk mengambil alih kesempatan menghancurkan kaum beriman.
Dalam perkembangan sejarah islam pasca nabi wafat tidak terdengar lagi kasus serupa, abdullah ibn ubay. Pasalnya, orang-orang yang dahulu menyembunyikan kekufuran dibalik pengakuan islamnya, kini telah berani untuk terang-terangan
d)     Al-usat (kelompok pelaku maksiat)
Golongan mad’u ini menurut abdul karim zaidan adalah mereka yang secara batin memiliki pijakan yang kuat dari agama, namun secara behavioral menunjukkan indikasi yang sebaliknya. Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang diakui memiliki komitmen terhadap keyakinan fundamenta islam,namun keyakinan ini tidak mampu di implementasikan dalam realitas kehidupan. Bahkan kerap kali melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang diyakininya.
2.      Pengelompokan Mad’u Berdasarkan Antusiasnya Terhadap Dakwah
Mengenai sikap mad’u terhadap seruan dakwah al-quran menyebutkan tiga klompok mad’u, yaitu :
Al sabiqun bi alakhirat (kelompok yang bersegera dalam menerima kebenaran), kelompok ini menurut Wahbah Al-Zuhayli adalah kelompok mad’u yang cenderung antusias terhadap seruan-seruan dakwah baik yang sunnah apalagi yang wajib. Sebaliknya mereka amat takut mengerjakan hal-hal yang diharamkan agama, di samping berusaha sebisa mungkin menghindari yang dimakruhkan atau malah hal-hal yang masih dibolehkan (mubah).
Muqtashid (kelompok pertengahan). Kelompok mad’u yang kedua ini adalah golongan pertengahan. Mereka merupakan orang-orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban agama dan meninggalkan yang diharamkan, namun pada waktu yang bersamaan mereka kerap kali melakukan hal-hal yang dimkaruhkan dan kurang tanggap terhadap kebaikan yang dianjurkan (sunnah).
Zhalim linafsih (kelompok yang mendzalimi dirinya sendiri). Kemudian kelompok yang terakhir ini adalah kelompok yang senang melampaui batasan-batasan agama, cenderung mengabaikan (Al-mufrith) kewajiban agama dan kerap melakukan larangan-larangan agama. Menurut Al-Biqa’i, kelompok inilah yang justru paling banyak ditemukan dalam masyarakat.
3.      Pengelompokan Mad’u Berdasarkan Kemampuannya Menangkap Pesan Dakwah
Dalam kategori ini, mad’u dikelompokan secara hierarkis dimulai dari kelompok elit hingga level bawah, karena kemampuan seseorang untuk menangkap pesan dakwah terkait erat dengan kedalamannya memahami agama dan hakikatnya. Ada tiga kelompok dalam hal ini. Pertama, adalah mereka yang dalam menangkap pesan dakwah didekati dengan mengajukan bukti-bukti demonstrative yang tak terbantahkan. Kedua, adalah kelompok mad’u menengah terkait tingkat pemahaman agamanya, dalam menerima pesan dakwah mereka belum mampu menyikap hakikat-hakikat terdalam agama, dan baru cukup didekati dengan dialog melalui adu argumentasi. Ketiga, kelompok ahlul kitab, adalah kelompok terbanyak dalam masyarakat, karena tingkat pemahaman agamanya yang rendah. Kelompok mad’u ini tidak tertarik kepada pendekatan-pendekatan dialektis dan belum mampu memahami hakikat terdalam agama. Untuk itu, cara retorik melalui tutur kata dan nasihat yang baik dalam menyampaikan pesan dakwah dipandang sebagai jalan yang paling baik.
4.      Kategori Mad’u Menurut Keyakinannya
Dakwah diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya kepada kelompok tertentu dan tidak yang lainnya. Terkait dengan aneka ragam keyakinan manusia dimuka bumi ini, dakwah juga memiliki kepentingan untuk menarik orang ke jalan tuhan. Adapun kategori menurut keyakinannya dibagi menjadi dua macam, yakni muslim dan non-muslim.
B.      Mad’u dan Pilihan Metode
Metode dakwah bersifat dinamis dan kontekstual, sesuai dengan objek yang sedang dihadapi. Dalam perspektif ini, tidak ada pemutlakan terhadap suatu metode atau pendekatan dakwah. Kekuatan pilihan suatu metode ter\dapat pada faktor eksternal di luar metode itu sendiri.
Al-Quran telah menggariskan nilai – nilai universal terkait dengan metode dakwah itu sendiri yang dapat dilihat secara empiris, historis dalam praktik dakwah Rasululah SAW, sahabat, dan da’I islam setelah mereka. Prinsip – prinsip metodologis itu ada empat, yaitu arif bijaksana, nasihat yang baik, dialog dengan cara terbaik, dan pembalasan berimbang.
1.Metode Hikmah
Dari segi pemaknaan leksikal (etimologi), digunakan untuk mengartikan kata seperti keadilan, ilmu, kearifan, kenabian, dan juga al-qur’an. Dari kata hikma juga devirasinya “hakim”, yang berarti seorang yang berprofesi memutuskan perkara hukum (al-mutqin li umur al-hukm). Adapun hukum (al-hukm) sendiri berarti keputusan yang diperoleh secara seksama atas dasar ilmu pengetahuan dan bersifat logisyang dikeluarkan untuk mencegah kesewenang – wenangan (man’u al-zhulm). dari pengertian kebahasaan ini para ulama menafsirkan hikmah sebagai Al-qur’an dan sunah Nabi seperti tafsiran Ibn Katsir. Ada juga yang menerjemahkan hikmah sebagain pemahaman kopmprehensif al-qur’an, dari segi nasikh – mansukhnya, muhkam – mutasyabihnya, urutan turunan ayat, hingga hukum halal – haramnya. Hikmah juga bisa ditafsirkan sebagai integrasi antar ucapan dan perbuatan, ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh, takut kepada allah dan bersikap hati – hati dalam agama, ilmu beserta pengamalannya, hingga menjwab pertanyaan yang cepat dan benar. Singkatnya, dari tinjauan terminologi hikamh menuju pengertian ketetapan berkata dan bertindak dan memperlakukan sesuatu secara bijaksana. Menurut al-Qahtany, hikmahdalam konteks metode dakwah tidak dibatasi hannya dalam bentuk dakwahdengan ucapan yang lembut, nasihat motivasi, kelembutan dan amnesti yang selama ini telah dipahami masyarakat. Hikmah dalam metode dakwah juga meliputi pendekatan dakwah dengan kedalaman rasio, pendidikan, nasihat yang baik, dialog yang baik pada tempatnya, juga dialog dengan para penentaang yang dzalim pada tempatnya, hingga meliputi kecaman, ancaman dan kekuatan senjata pada tempatnya.
Ada tiga hal yang menjadi tiang dakwah dengan hikmah, diantaranya
·         Ilmu (al-‘ilm)
·         Kesantunan (al-hilm)
·         Kedewasaan berfikir (al-anat)

2.Mau’izhah Hasanan
Pendekatan dengan cara ini dilakukan dengan cara perintah dan larangan yang disertai dengan unsur motivasi dan ancaman yang disampaikan dengan kata lembut yang dapat membuat mad’u menjadi sadar dan menguatkan keimanan mad’u.dan
Dalam praktiknya terbagi menjadi 2 bentuk yaitu
1.      Penngajaran (ta’lim)
Dalam bentuk ini dilakukan dengan cara menjelaskan keyakinan tauhid disertai pengamalan impikasinya dari hukum syariat ang lima yaitu wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
2.      Pembinaan (ta’dib)
Dalam bentuk ini dilakukan dengan cara penanaman moral terhadap mad’u serta menjelaskanefek dan manfaatnya terhadap kehidupan masyarakat.
Dalam metode mau’izhah hasanah harus memperhatikan hal hal berikut ;
·         Memperhatikan kemungkaranyang berkembang sesuai dengankonteks waktu dan tempat
·         Megukur skala prioritas kemungkaran sesuai derajat kerusakanya
·         Efek yang ditimbulkan kemungkaran dari segi psikis, sosial, hingga finansial
·         Menghadirkan argumentasi agama tekait kemunkaran tersebut
3.         Debat yang terpuji (al-jalal al-husna)
Pendekatan seperti ini dilakukan dengan cara berdialog yang berbasis budi pekerti luhur serta mengarah pada kebenaran demonstratif rasional dan tektual dengan maksud menolah argument yang batil yang digunakan oleh lawan dialog. Debat seperti ini ditujukan sebagai wasilah untuk mencapai kebenaran dan petunjuk Allah SWT. Target dari pendekatan seperti adalah orang2 non muslim yang masih dalam masa pencarian kebenaran. Dialog seperti ini bukan dimaksudkan untuk mengajak bereka beriman melainkan berislam, yang terdapat pada QS. Ali Imran : 64. Tujuan utama dari dialog ini adalah mencari titik temu dari berbagai pertentangan dan perseteruan. Yang insya allah mereka akan mendapatkan hidayah jikalau mereka membuka hat aan suatu kebenaran.
Kategori mad’u munafik yang diperlakukan layaknya seorang muslimjuga dapat didekati dengan cara pendekatan seperti ini. Dengan ini dimaksudkan untuk mempertegas kebenaran yang masih mereka sangsikan, dan merobohkan segala formalisai beragama.

4.Tindakan Balasan Setimpal (iqabah bi al-mitsl)
Maksud dari pendekatan seperti ini dimaksudkan untuk menolak semua fitnahterhadap dakwah islam, dan menghadirkan kebebasan beragama dan menumpas kesewenang – wenangan. Dalam pendekatan dakwah seperti ini hanyalah sebagai alternatif, bisa disebut juga jalan terakhir dalam meakukan pendekatan.
            Namun dalam memberikan amnesti bukan tanpa adanya perhitungan, karena jika tidak akan beraibat pada penurunan moral dan etika pada dakwah itu sendiri dan islam dapat dilecehkan dan diremehkan.
Menurut Sayyd Quthub, amnesti hannya dalam dua kasus saja, yaitu ;
1.      Ketika kondisi umat islam memiliki kekuatan untuk membalas sehingga kesan amnesti akan memberi kesan menonjol pada rahmatan li al’alamin
2.      Ketika kejahatan musuh bersifat individual dan bukannya memfitnah akidah islam, dan jika hal ini terjadi bukan hannya pemberian amnesti melainkan pembelaan penuh terhada islam dengan kekuatan penuh.
Hikmat al-quwwah sebagai pendekatan dakwah juga berlaku terhadap kaum muslimin yang dimaksudkan untuk memperoleh stabilitas sosial dengan bertindak tegas terhadap setaip pelanggar hukum.

BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
 Dalam Al-Qur’an, keharusan menjadikan mad’u sebagai sentral dakwah diisyaratkan sebagai suatu strategi pesan-pesan agama. Gagasan dakwah menempatkan mad’u sebagai sentral, menghendaki strategi dakwah yang empatik, simpatik dan humanistis. Islam condong kepada prinsip humanism (bahwa hak yang utama terkait dengan dakwah adalah hak-hak asasi manusia pada umumnya), universal dan fleksibel. Dalam perspektif dakwah, pengakuan hak asasi ini memberikan kebebasan kepada mad’u untuk menerima atau menolak dakwah. Didalam setiap masyarakat memiliki suasana kejiwaan masing-masing, maka dakwah yang manusiawi dan sekaligus komunikatif adalah dakwah yang dapat memahami perbedaan psikologis setiap ummat dan mencarikan jalan keluar yang tepat dan sesuai dengan suasana kebatinan mereka dalam dimensi ruang dan waktu. Dalam pengklasifikasiannya, mad’u dibagi menjadi bermacam-macam jenis yang dilihat dari berbagai segi.































DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Ilyas, Prio Hotman. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama Dan Peradaban Islam. 2011. Kencana Prenada Media Group: Jakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar