BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Objek dakwah (mad’u) kajiannya
merupakan hal yang tak kalah penting dari pada kajian mengenai da’i. Seperti
da’I, mad’u adalah manusia. Kajian
mengenai mad’u tak cukup hanya pada klasifikasi, penggolongan atau pengelompokan
seperti yang selama ini terjadi. Dalam konteks filsafat dakwah, kajian mengenai
mad’u perlu dilihat dalam kedudukannya sebagai manusia baik sebagai individu
maupun kelompok, lalu kecendrungan-kecendrungannya baik yang bersifat
intelektual, moral (emosional) maupun spiritual.
Pemahaman jatidiri mad’u sebagai
manusia dan kecendrungan-kecendrungan dasarnya menjadi sangat penting dalam
konteks dakwah untuk selanjutnya dapat dirumuskan pendekatan dan metode yang
tepat dan relevan. Tentu metode, teknik dakwah, menjadi tugas ilmu dakwah dan
bukan menjadi wilayah kajian filsafat dakwah untuk merumuskannya dan mengujinya
secara empiris dilapangan. Disadari keberadaan mad’u mempengaruhi aspek-aspek
lain dalam proses dakwah.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Klasifikasi Mad’u ?
2. Sebutkan Mad’u dan Pilihan Metodenya ?
1.3.
Tujuan Rumusan Masalah
1. Agar Mahasiswa Mengetahui Klasifikasi
Mad’u
2. Agar Mahasiswa Mengetahui Mad’u dan Pilihan Metodenya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Mad’u
1. Klasifikasi Mad’u Menurut Sikapnya
Terhadap Dakwah
Pakar
dakwah Abdul Karim Zaidan dalam buku ushul al da’wah, mengelompokan
manusia dalam empat kategori berdasarkan sikapnya terhadap dakwah, yaitu
a) Al-mala’
Dalam
alquran, terminologi al-mala’ digunakan untuk arti kelompok sosial yang
berstatus sebagai pemuka masyarakat (asyraf
al-qaum) pemimpin masyarakat (ru’usahum)atau yang memiliki wewenang
atas masyarakat (sadatuhum). Pakar Al-quran Al Ashfahany menerjemahkan
istilah al-mala’ sebagai suatu kelompok orang yang memilki pengaruh atas
pandangan umum baik lantaran kewibawaannya maupun kebesaran namanya. Karena
pengaruh tersebut kelompok sosial ini mampu menyita perhatian banyak orang dan
memiliki kekuatan untuk membangun opini dan citra publik. Kemudian beliau
menyingkap kelompok ini secara positif dan karena itu memiliki potensi yang
besar dalam hal kebaikan (al-mamlu bi al-jamaah). Senada dengan beliau,
yakni ulama tafsir klasik alqurtuby juga memandang al mala sebagai suatu
kelompok sosial yang memiliki kelebihan dan karenanya menjadi tumpuan banyak
orang dalam memenuhi hajat hidup mereka. Sambil mengutip hadits nabi, al
qurtuby menilai bahwa potensi kebaikan kelompok al mala karena keterkaitannya
dengan budi pekerti yang baik (husn al-khulq).
Dalam
tinjauan Al-quran istilah al-mala’ diulang tidak kurang dari 29 tempat.
Dari angka yang disebutkan al quran cenderung
menggunakan kata al mala dalam pengertian pemimpin kaum atau yang serupa
dengannya seperti yang dijelaskan diatas. Adapun dalam sebagian tempat lainnya
kata al mala digunakan sebagai representasi penyebutan kelompok malaikat (al-malaikat al-a’la) pemaknaan ini
menurut Ar razi bisa dibenarkan karena sejalan dengan makna asal al mala
sendiri yakni “yang memenuhi” dan para malaikat adalah kelompok makhluk tuhan
yang amat banyak sehingga memenuhi langit (al-mala’ al-a’la / penghuni
alam atas) . adapun manusia dan jin, karena diciptakan sebagai penghuni yang
memenuhi bumi, maka mereka itu juga disbut sebagai al-mala al-sufla (penghuni
alam bawah). Ibnu manzur dengan mengutip hadits nabi juga memberikan pemaknaan
yang serupa lebih lanjut ibnu manzur menyimpulkan bahwa al-mala juga bisa di
maknai untuk menunjuk pengertian tentang malaikat yang mendekatkan diri (al-malaikat
al-muqorrobin).
Berbeda
dengan penjelasan tentang sisi positif dari pengertian al mala seperti
dijelaskan di atas dalam banyak konteks dakawah nabi-nabi, kata ini dikaitkan
dengan kelompok orang yang menentang seruan dakwah. Dalam kasus nabi nuh
misalnya, para pemuka kaum ketika itu menyetarakan antara seruan dakwahnya dan
sebuah ajaran yang yang menyesatkan(al dolal al mubin). Dalam pandangan pemuka
kaum nuh, kebiasaan umum yang biasa dan telah lama mereka kenal dan wariskan
dari nenek moyang mereka adalah sebuah kebenaran mutlak, membicarakannya
ataupun mengoreksinya dinilai sebagai perbuatan tabu yang sesat. Karena itu,
ajakan nabi nuh untuk meninggalkan pandangan umum kaumnya dan mentauhidkan
allah dikira sebagai sesuatu yang asing dan menyimpang dari kebenaran umum. Tidak
jauh dengan dakwah nuh, nabi hud juga mendapat perlakuan yang serupa. Bahakan
terhadap seruan dakwahnya, pemuka kaum nabi hud menjulukinya sebagai orang
idiot dan tukang bohong.(al safahah al kazzab). Seraya tidak cukup dengan
umpatan dan makian, terhadap seruan dakwah, pemuka kaum nabi syuaib bahkan
mengancamnya dan orang-orang yang mengikuti ajakannya dengan mengusir mereka
dari tanah airnya.
Di
samping penolakan dan penentangannya terhadap dakwah, al quran secara objektif
juga menggambarkan perihal kesetiaan kelompok al mala ini terhadap dakwah para
nabi walaupun dengan sikap setengah hati. Dalam mendeskripsikan tentang pemuka
bani israil misalnya, al quran memaparkan bagaimana mereka meminta saran nabi
untuk mengangkat seorang wakil untuk berperang melawan musuh , walaupun pada
akhirnya keputusan nabi mereka diterimanya walau dengan tanpa komitmen. Al
quran juga menyebutkan tentang sikap koopratif kelompok al mala ketika
bermusyawarah dengan raja supaya mendatangkan nabi yusuf untuk menereangkan
takwil mimpinya. Dari pemaparan tentang karakteristik kelompok mad’u ini dalam
kaitan sikapnya terhadap kebenaran dakwah, diperoleh pemahaman sebagai berikut
:
1. kelompk al mala adalah kaum ekekutif
masyarakat yang memiliki pengaruh besar, bila mana mereka beriman, bagi
kesuksesan dakwah. Hal demikian, karena kemampuan mereka untuk mengakomodasi
massa dan pengaruhnya dalam membentuk opini-opini publik. Masuk dalam kelompok
ini adalah pemuka politik (azzuama) dan pemuka agama (al ruhaba), pemuka
politik berperan besar untuk menggalang kekuatan masa sedangkan pemuka agama
memiliki pengaruh dalam pembentukan opini publik dan sikap keagamaan masyarkat.
2. kelompok mad’u ini cenderung subjektif dan
dipengaruhi oleh rasa gengsi yang teramat tinggi. Dengan karakter seperti itu,
bisa dimengerti jika mereka memiliki kecenderungan untuk antipati terhadap
kebenaran yang disampaikan oleh dai, apalagi jika yang menyampaikan kebenaran
itu adalah orang yang di pandang tidak memiliki status sosial yang tinggi dalam
masyarakat inilah sisi negatif kelompok ini.
3. kelompok ini merupakan aset terpenting
dalam dakwah, karena kelompok ini merupakan panutan dan sumber rujukan orang
banyak. atas dasar hal ini, maka kekuatan dan pengaruh mereka bisa digunakan
untuk memperluas jangkauan dakwah .
4. sikap refresip, koopratif atau setengah
hati kelompok al-mala’ , sangat terkait erat dengan kepentingan-kepentingan
aubjektif dan hubungan mereka dengan dai. Demikian itu, karena mereka adalah
kelompok yang mempertahankan status quo dalam masyarakat. Ketika mereka
memandang kebenaran dakwah dapat membahayakan status quo nya, maka sikapnya
adalah refresif. Ektika kebenaran dakwah dinilai sebagai suatu hal yang skunder
dan komplementer, maka sikapnya akan menjadi setengah hati seperti yang terjadi
pada pemuka bani israil. Mereka juga akan menyambut dakwah dengan penuh
antusias dan koopratif jika dirasa kebenaran dakwah itu dapat mengokohkan
statusnya dan menunjang kepentingannya.
b) Jumhur al-nas
(kelompok mayoritas)
Kelompok
ini merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat. Mereka umumnya terdiri dari
kaum lemah yang merupakan lapisan terbesar dalam suatu masyarakat. Bagi abdul
karim zaidan diantara sekian banyak mad’u jumhu la nas adalah orang-orang yang
paling tanggap dalam menerima ajakan dan seruan dakwah. Demikian itu, ditinjau
dari dua sudut. Yakni historis dan psikologis. Dari tinjauan historis,
mayoritas manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual adalah mereka yang
paling simpatik dan paling cepat menerima seruan dakwah para rasul. Yang cukup banyak
dijelaskan dalam al-quran dan sirah nabi.
Adapun
dari sudut psikologis, mayoritas manusia yang terdiri dari kaum fakir miskin,
dan orang-orang lemah, adalah mereka yang selalu berjuang melawan penindasan
dan kesewenang-wenangan penguasan dan kaum elit. Dalam kondisi demikian, secara
kejiwaan mereka senantiasa mendambakan tampilan ssok yang berwibawa yang
memiliki ketulusan untuk bersama-sama memperjuangkan nasib mereka. Sementara
itu, kehadiran para rasul dan dakwahnya yang membawa muatan ajaran pembebasan
(liberation) dan persamaan (egalitarian), mampu membangkitkan optimisme dan
melahirkan harapan-harapan sebagai modal untuk memperjuangkan kehidupan yang
lebih baik. Karena alasan itulah mereka senantiasa menyambut kehadiran para
rasul, mengimani kenabiannya, dan
melaksanakan seruan-seruannya.
Potensi
negatif dari kelompok ini yang juga mampu menghambat akselerasi dakwah, seperti
diketahui mayoritas manusia adalah kaum lemah, baik dalam arti fisik maupun
intelektual. Secara psikis, mereka juga dikenal sebagai kelompok yang
merindukan sosok “ratu adil” atau “pahlawan” yang bersimpatik kepada nasib
mereka dan bersedia memperjuangkan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik .
dalam kondisi demikian ini, mereka rentan dimanfaatkan oleh segolongan manusia dengan
kepentingan-kepentingan tertanam (vested interest) yang mengatasnamakan
kelompok mayoritas untuk tujuan pribadi atau kelompoknya. Melalui kekuatan
massa, kelompok dengan kepentingan tertanam itu membuat rekayasa yang lambat
laun mengakar dan membentuk opini kebenaran publik. Opini kebenaran publik ini
kemudian dikonsolidasikan menjadi sebuah kejumudan yang membela status quo dan
menghalangi setiap ide pembaruan.
c) al-munafiqun
Dalam
membicarakan kelompok mad’u yang satu ini harus hati-hati karena cukup sulit
menentukannya bisa jadi jika kita gegabah kita akan terjerumus dalam sikap
curiga mencurigai dan bisa jadi bibit pemecah belah persatuan islam. Untuk
menghindari hal tersebut, persoalan ini akan ditelaah melalui tiga sudut
pandang yang berbeda, yaitu perspektif kebahasaan, konfirmasi al-quran dan
tinjauan sosiohistorisnya.
Dalam
pengertian terminologinya, al-nifaq berarti menampakkan sesuatu yang berbeda
secara esensial dengan hakikat sebenarnya. Bagi al-ashfahany, kemunafikan
adalah suatu sikap keagamaan yang timpang alias tidak utuh, yaitu menerima agam
dari satu sisi, tetapi menolaknya dari sisi yang lain (al-dukhul fi syar’i min
babin waal-khuruj’anhu min babin). Kemudian menurut pakar bahasa ibn manzur,
nifaq merupakan kata sifat, adalah sebuah julukan bagi orang islam yang secara
kasat mata menunjukkan keimanan, namun menyembunyikan kekufuran dalam batinnya.
Kemunafikan juga dianalogikan sebagai lubang tikus, dari luar memang tidak
kelihatan, namun dari dalam menggrogoti iman secara perlahan-lahan. Dengan
demikian, seseorang bisa disebut munafik jika keislamannya hanya sebatas
formalitas, yakni sekedar untuk memperoleh pengakuan dari golongannya.
Dari
perspektif al-quran, pertama-tama yang perlu kita pahami adalah fakta bahwa
pembicaraan tentang orang-orang munafik dan kemunafikan tidak lepas dari
konteks ayat-ayat madaniah. Bhakan terkaitdengan hal ini, dalam al-quran
terdapat satu surat yang berbicara secara spesifik tentang orang-orang munafik,
yaitu surah al-munafiqun, yang menurut konsensus pakar tafsir diturunkan pada
priode madinah. Menurut analis abdul karim zaidan, hal demikian dikarenakan
eksistensi kemunafikan itu sendiri yang baru dapat ditemukan dalam priode
madinah, sebagaimana tidak satu pun kaum muslim yang memiliki watak demikian pada
priode mekkah. Dalam surat tersebut , Al-quran mendeskripsikan munafiqun
sebagai kelompok orang yang secara eksplisit mengakui karasulan nabi muhammad,
namun pengakuan tersebut dilakukan secara terpaksa, yakni sebagai tameng demi
menaga harta dan nyawa mereka dari ketentuan kaum muslimin. Kaum munafik juga
digambarkan sebagai para oportunis yang kafir setelah beriman, maksudnya gemar
menjalin konsolidasi dengan pihak musuh (syayatinihim), baik dari kaum
musyirikin maupun ahlul kitab yang menentang (Yahudi dan Nasrani). Orang-orang
munafik juga dilukiskan sebagai golongan yang telah menyimpang dari sikap
beragama yang sejati (fasiq), dan karenanya, mereka menjadi apriori
terhadap seruan dakwah (lam tajid al-mawa’iz wa nasa’ih). Terakhir,
surat tersebutmenyebutlkan bahwa orang-orang munafik itu amat lihai dalam
melakukan provokasi publik dan membuat tekanan psikologis terhadap orang-orang
beriman.
Dari
tinjauan historis munafik dan kemunafikan memang baru terlihat jelas gejalanya
pada fase perkembangan dakwah madinah. Hal demikian dapat dipahami, mengingat
watak kemunafikan itu sendiri yang cenderung oportunis dan mencari posisi aman,
lahir bersamaan dengan identitas kaum beriman yang ditandai dengan kebangkitan
kau politik. Jika kita memaklumi kemunafikan itu muncul dari tekanan sosial
(social pressure), yang diakibatkan oleh desakan untuk memperoleh pengakuan
komunitas atau kemudahan bisnis, maka sebetulnya keislaman golongan munafik
dapat dibilang sebagai keislaman yang formalitas. Karena keberagamaan yang
formal mereka cenderung bersikap destruktif (yufsiduna fil al-ardi), dan banyak
berbuat maksiat (fasiq) sekalipun mereka mengaku beriman. Sekalipun begitu,
faktanya sepanjang sejarah dakwah, orang-orang munafik tetap diakui sebagai
bagian dari komunitas beriman. Karena itu pula, mereka selalu menjadi beban
bagi dakwah islam, terutama untuk mengidentifikasi siapa darimereka yang
tergolong munafik, yang memanfaatkan islam untuk kepentingan-kepentingan
subjektif dibalik jargon-jargon keislamannya.
Di
awal perkembangan dakwah Islam sejarah menyebut nama Abdullah Bin Ubay Bin
Salul sebagai refresentasi dari kelompok munafik. Menurut keterangan sarjan
sejarah Husein Haikal, ia adalah orang anshar yang berkomplot baik dengan
pengiktu muhammad maupun kelompok yahudi. Ketika Nabi Muhammad menginjakkan
kakinya di Madinah, orang ini dan kelompoknya dari kaum Khazraj berharap, dapat
menguasai nabi dan orang-orang beriman sesuai dengan
kepentingan-kepentingannya. Ketika dalam perkembangan berikutnya, ternyata
abdullah ibn ubay melihat kaumnya lebih memilih untuk beriman, maka ia melihat
bahwa kesempatan untuk menguasai nabi muhammad telah hilang. Karena itu, orang
ini pun ikut beriman meskipun dengan setengah hati sambil mewanti-wanti untuk
mengambil alih kesempatan menghancurkan kaum beriman.
Dalam
perkembangan sejarah islam pasca nabi wafat tidak terdengar lagi kasus serupa,
abdullah ibn ubay. Pasalnya, orang-orang yang dahulu menyembunyikan kekufuran
dibalik pengakuan islamnya, kini telah berani untuk terang-terangan
d) Al-usat
(kelompok pelaku maksiat)
Golongan
mad’u ini menurut abdul karim zaidan adalah mereka yang secara batin memiliki
pijakan yang kuat dari agama, namun secara behavioral menunjukkan indikasi yang
sebaliknya. Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang diakui memiliki komitmen
terhadap keyakinan fundamenta islam,namun keyakinan ini tidak mampu di
implementasikan dalam realitas kehidupan. Bahkan kerap kali melakukan sesuatu
yang berlawanan dengan apa yang diyakininya.
2. Pengelompokan Mad’u Berdasarkan Antusiasnya
Terhadap Dakwah
Mengenai
sikap mad’u terhadap seruan dakwah al-quran menyebutkan tiga klompok mad’u,
yaitu :
Al
sabiqun bi alakhirat (kelompok yang bersegera
dalam menerima kebenaran), kelompok ini menurut Wahbah Al-Zuhayli adalah
kelompok mad’u yang cenderung antusias terhadap seruan-seruan dakwah baik yang
sunnah apalagi yang wajib. Sebaliknya mereka amat takut mengerjakan hal-hal
yang diharamkan agama, di samping berusaha sebisa mungkin menghindari yang
dimakruhkan atau malah hal-hal yang masih dibolehkan (mubah).
Muqtashid
(kelompok pertengahan). Kelompok mad’u yang kedua ini adalah golongan
pertengahan. Mereka merupakan orang-orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban
agama dan meninggalkan yang diharamkan, namun pada waktu yang bersamaan mereka kerap
kali melakukan hal-hal yang dimkaruhkan dan kurang tanggap terhadap kebaikan
yang dianjurkan (sunnah).
Zhalim
linafsih (kelompok yang mendzalimi dirinya
sendiri). Kemudian kelompok yang terakhir ini adalah kelompok yang senang
melampaui batasan-batasan agama, cenderung mengabaikan (Al-mufrith)
kewajiban agama dan kerap melakukan larangan-larangan agama. Menurut Al-Biqa’i,
kelompok inilah yang justru paling banyak ditemukan dalam masyarakat.
3.
Pengelompokan Mad’u Berdasarkan Kemampuannya Menangkap
Pesan Dakwah
Dalam kategori ini, mad’u
dikelompokan secara hierarkis dimulai dari kelompok elit hingga level bawah,
karena kemampuan seseorang untuk menangkap pesan dakwah terkait erat dengan
kedalamannya memahami agama dan hakikatnya. Ada tiga kelompok dalam hal ini.
Pertama, adalah mereka yang dalam menangkap pesan dakwah didekati dengan
mengajukan bukti-bukti demonstrative yang tak terbantahkan. Kedua, adalah
kelompok mad’u menengah terkait tingkat pemahaman agamanya, dalam menerima
pesan dakwah mereka belum mampu menyikap hakikat-hakikat terdalam agama, dan
baru cukup didekati dengan dialog melalui adu argumentasi. Ketiga, kelompok
ahlul kitab, adalah kelompok terbanyak dalam masyarakat, karena tingkat
pemahaman agamanya yang rendah. Kelompok mad’u ini tidak tertarik kepada
pendekatan-pendekatan dialektis dan belum mampu memahami hakikat terdalam
agama. Untuk itu, cara retorik melalui tutur kata dan nasihat yang baik dalam
menyampaikan pesan dakwah dipandang sebagai jalan yang paling baik.
4.
Kategori Mad’u Menurut Keyakinannya
Dakwah diakui sebagai ajakan
universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya kepada kelompok tertentu
dan tidak yang lainnya. Terkait dengan aneka ragam keyakinan manusia dimuka
bumi ini, dakwah juga memiliki kepentingan untuk menarik orang ke jalan tuhan.
Adapun kategori menurut keyakinannya dibagi menjadi dua macam, yakni muslim dan
non-muslim.
B.
Mad’u dan
Pilihan Metode
Metode
dakwah bersifat dinamis dan kontekstual, sesuai dengan objek yang sedang
dihadapi. Dalam perspektif ini, tidak ada pemutlakan terhadap suatu metode atau
pendekatan dakwah. Kekuatan pilihan suatu metode ter\dapat pada faktor eksternal
di luar metode itu sendiri.
Al-Quran
telah menggariskan nilai – nilai universal terkait dengan metode dakwah itu
sendiri yang dapat dilihat secara empiris, historis dalam praktik dakwah
Rasululah SAW, sahabat, dan da’I islam setelah mereka. Prinsip – prinsip
metodologis itu ada empat, yaitu arif bijaksana, nasihat yang baik, dialog
dengan cara terbaik, dan pembalasan berimbang.
1.Metode
Hikmah
Dari
segi pemaknaan leksikal (etimologi), digunakan untuk mengartikan kata seperti
keadilan, ilmu, kearifan, kenabian, dan juga al-qur’an. Dari kata hikma juga
devirasinya “hakim”, yang berarti seorang yang berprofesi memutuskan perkara
hukum (al-mutqin li umur al-hukm).
Adapun hukum (al-hukm) sendiri berarti keputusan yang diperoleh secara seksama
atas dasar ilmu pengetahuan dan bersifat logisyang dikeluarkan untuk mencegah
kesewenang – wenangan (man’u
al-zhulm). dari pengertian kebahasaan ini para ulama menafsirkan hikmah
sebagai Al-qur’an dan sunah Nabi seperti tafsiran Ibn Katsir. Ada juga
yang menerjemahkan hikmah sebagain pemahaman kopmprehensif al-qur’an, dari segi
nasikh – mansukhnya, muhkam – mutasyabihnya, urutan turunan ayat, hingga hukum
halal – haramnya. Hikmah juga bisa ditafsirkan sebagai integrasi antar ucapan
dan perbuatan, ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh, takut kepada allah dan
bersikap hati – hati dalam agama, ilmu beserta pengamalannya, hingga menjwab
pertanyaan yang cepat dan benar. Singkatnya, dari tinjauan terminologi
hikamh menuju pengertian ketetapan berkata dan bertindak dan memperlakukan
sesuatu secara bijaksana. Menurut al-Qahtany, hikmahdalam konteks metode dakwah
tidak dibatasi hannya dalam bentuk dakwahdengan ucapan yang lembut, nasihat
motivasi, kelembutan dan amnesti yang selama ini telah dipahami masyarakat.
Hikmah dalam metode dakwah juga meliputi pendekatan dakwah dengan kedalaman
rasio, pendidikan, nasihat yang baik, dialog yang baik pada tempatnya, juga
dialog dengan para penentaang yang dzalim pada tempatnya, hingga meliputi
kecaman, ancaman dan kekuatan senjata pada tempatnya.
Ada
tiga hal yang menjadi tiang dakwah dengan hikmah, diantaranya
·
Ilmu
(al-‘ilm)
·
Kesantunan
(al-hilm)
·
Kedewasaan
berfikir (al-anat)
2.Mau’izhah
Hasanan
Pendekatan
dengan cara ini dilakukan dengan cara perintah dan larangan yang disertai
dengan unsur motivasi dan ancaman yang disampaikan dengan kata lembut yang
dapat membuat mad’u menjadi sadar dan menguatkan keimanan mad’u.dan
Dalam
praktiknya terbagi menjadi 2 bentuk yaitu
1. Penngajaran (ta’lim)
Dalam
bentuk ini dilakukan dengan cara menjelaskan keyakinan tauhid disertai
pengamalan impikasinya dari hukum syariat ang lima yaitu wajib, haram, sunnah,
makruh, dan mubah.
2. Pembinaan (ta’dib)
Dalam
bentuk ini dilakukan dengan cara penanaman moral terhadap mad’u serta
menjelaskanefek dan manfaatnya terhadap kehidupan masyarakat.
Dalam
metode mau’izhah hasanah harus memperhatikan hal hal berikut ;
·
Memperhatikan
kemungkaranyang berkembang sesuai dengankonteks waktu dan tempat
·
Megukur
skala prioritas kemungkaran sesuai derajat kerusakanya
·
Efek
yang ditimbulkan kemungkaran dari segi psikis, sosial, hingga finansial
·
Menghadirkan
argumentasi agama tekait kemunkaran tersebut
3. Debat yang terpuji (al-jalal al-husna)
Pendekatan
seperti ini dilakukan dengan cara berdialog yang berbasis budi pekerti luhur
serta mengarah pada kebenaran demonstratif rasional dan tektual dengan maksud
menolah argument yang batil yang digunakan oleh lawan dialog. Debat seperti ini
ditujukan sebagai wasilah untuk mencapai kebenaran dan petunjuk Allah SWT.
Target dari pendekatan seperti adalah orang2 non muslim yang masih dalam masa
pencarian kebenaran. Dialog seperti ini bukan dimaksudkan untuk mengajak bereka
beriman melainkan berislam, yang terdapat pada QS. Ali Imran : 64. Tujuan utama
dari dialog ini adalah mencari titik temu dari berbagai pertentangan dan
perseteruan. Yang insya allah mereka akan mendapatkan hidayah jikalau mereka
membuka hat aan suatu kebenaran.
Kategori
mad’u munafik yang diperlakukan layaknya seorang muslimjuga dapat didekati
dengan cara pendekatan seperti ini. Dengan ini dimaksudkan untuk mempertegas
kebenaran yang masih mereka sangsikan, dan merobohkan segala formalisai
beragama.
4.Tindakan
Balasan Setimpal (iqabah bi al-mitsl)
Maksud
dari pendekatan seperti ini dimaksudkan untuk menolak semua fitnahterhadap
dakwah islam, dan menghadirkan kebebasan beragama dan menumpas kesewenang –
wenangan. Dalam pendekatan dakwah seperti ini hanyalah sebagai alternatif, bisa
disebut juga jalan terakhir dalam meakukan pendekatan.
Namun dalam memberikan amnesti bukan
tanpa adanya perhitungan, karena jika tidak akan beraibat pada penurunan moral
dan etika pada dakwah itu sendiri dan islam dapat dilecehkan dan diremehkan.
Menurut
Sayyd Quthub, amnesti hannya dalam dua kasus saja, yaitu ;
1. Ketika kondisi umat islam memiliki
kekuatan untuk membalas sehingga kesan amnesti akan memberi kesan menonjol pada
rahmatan li al’alamin
2. Ketika kejahatan musuh bersifat individual
dan bukannya memfitnah akidah islam, dan jika hal ini terjadi bukan hannya
pemberian amnesti melainkan pembelaan penuh terhada islam dengan kekuatan
penuh.
Hikmat
al-quwwah sebagai pendekatan dakwah juga berlaku terhadap kaum muslimin yang
dimaksudkan untuk memperoleh stabilitas sosial dengan bertindak tegas terhadap
setaip pelanggar hukum.
BAB
III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
Dalam Al-Qur’an, keharusan menjadikan mad’u
sebagai sentral dakwah diisyaratkan sebagai suatu strategi pesan-pesan agama.
Gagasan dakwah menempatkan mad’u sebagai sentral, menghendaki strategi dakwah
yang empatik, simpatik dan humanistis. Islam condong kepada prinsip humanism
(bahwa hak yang utama terkait dengan dakwah adalah hak-hak asasi manusia pada
umumnya), universal dan fleksibel. Dalam perspektif dakwah, pengakuan hak asasi
ini memberikan kebebasan kepada mad’u untuk menerima atau menolak dakwah. Didalam
setiap masyarakat memiliki suasana kejiwaan masing-masing, maka dakwah yang
manusiawi dan sekaligus komunikatif adalah dakwah yang dapat memahami perbedaan
psikologis setiap ummat dan mencarikan jalan keluar yang tepat dan sesuai
dengan suasana kebatinan mereka dalam dimensi ruang dan waktu. Dalam
pengklasifikasiannya, mad’u dibagi menjadi bermacam-macam jenis yang dilihat
dari berbagai segi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail, Ilyas, Prio Hotman. Filsafat
Dakwah Rekayasa Membangun Agama Dan Peradaban Islam. 2011. Kencana Prenada
Media Group: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar