UJIAN
AKHIR SEMESTER (UAS)
MATA
KULIAH “HADITS”
TAHUN
2016
Dosen Pengumpu :
Bapak Aswad
Nama : Andini
Nursyarifah
Nim :
11150530000049
Jurusan
Manajemen Dakwah
Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
UJIAN AKHIR SEMESTER HADITS
I.
IKHLAS BERAMAL
A.
Niat dan Motivasi Beramal
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami
Al-Humaidi Abdullah bin Az-Zubair dia berkata : telah menceritakan kepada kami
Sufyan yang berkata : bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id
Al-Anshari berkata : saya pernah mendengar Umar bin Al-Khattab di atas mimbar
berkata : saya mendengar Rasulullah Saw bersabda : “semua perbuatan
tergantung dengan niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap (orang tergantung) apa
yang diniatkan, barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya
atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah
kepada apa yang di niatkan.”
Makna hadits :
1.
Syarat
niat.
Para ulama sepakat bahwa perbuatan
seorang mukmin tidak akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali
jika diiringi dengan niat.
Dalam ibadah inti, misalnya :
shalat, haji, puasa. Niat merupakan rukun, karenanya ibadah-ibadah tersebut
tidak akan sah jika tidak diiringi dengan niat.
2.
Waktu
dan tempat niat.
Waktu niat terletak pada awal
ibadah, misalnya : pada waktu sholat terletak pada tahbiratul ihram, sedangkan
ihram untuk haji, dan pada saat puasa maka diperbolehkan sebelumnya karena
untuk mengetahui masuknya waktu subuh secara tepat cukup sulit.
3.
Keharusan
hijrah.
Hijrah dari kekafiran menuju
keislaman adalah keharusan bagi setiap manusia. Kata hijrah juga dapat
dipergunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.
Seorang muslim kadang-kadang
diharuskan untuk menjauhi saudaranya yang berbuat maksiat.
4.
Orang
yang berniat melakukan kebaikan, namun karena satu atau yang lain halnya
(misalnya sakit parah atau meninggal dunia) sehingga ia tidak bisa
melaksanakannya, maka ia tetap akan mendapatkan pahala kebaikannya.
Al-Badhawi berkata : “amal ibadah
tidak akan sah kecuali jika diiringi dengan niat.” Karena amal ibadah tanpa
niat adalah sia-sia, perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad, jasad
tidak akan berfungsi tanpa adanya ruh, dan ruh tidak akan tampak jika terpisah
dari jasad.
5.
Hadits
ini mendorong kita untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan ibadah agar mendapat
pahala di akhirat kelak, serta kemudahan dan kebahagiaan di dunia.
6.
Semua
perbuatan baikdan bermanfaat, jika diiringi dengan niat yang ikhlas dan hanya
mencari keridhoan Allah SWT, maka perbuatan tersebut adalah ibadah.
B.
Bahaya Riya’ dalam Beramal
Artinya :
Setiap mukmin harus senantiasa
menjauhi sikap riya, karena riya dapat membatalkan sebuah amal kebaikan dan
memalingkannya kepada keburukan.
Riya juga termasuk kedalam kategori
syirik kecil dan syirik tersebut berbahaya, karena dapat menghanguskan keimanan
kita kepada Allah SWT.
Riya merupakan kedurhakaan hati yang
sangat berbahaya terhadap diri, amal, masyarakat dan umat.
Di antara bahaya riya adalah :
1.
Riya
akan menghapus dan membatalkan amal shalih.
2.
Amal
shalih akan hilang pengaruh baiknya bila disertai riya.
3.
Riya
mewariskan kehinaan dan kerendahan.
4.
Pelaku
riya tidak akan mendapat ganjaran baik di akhirat.
5.
Riya
merupakan salah satu sebab kekalahan umat Islam.
Isi hadits (kandungan/intisari) :
1.
Niat
merupakan syarat diterima (layak) atau tidaknya suatu amal perbuatan dan amal
ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan pada niatnya (karena
Allah SWT).
2.
Waktu
pelaksanaan niat tersebut dilakukan pada awal ibadah dan bertempat di hati.
3.
Ikhlas
dan membebaskan niat semata-mata hanya karena Allah SWT dituntut untuk semua
amal shaleh dan ibadah.
4.
Seorang
mukmin akan diberi ganjaran pahala berdasarkan pada kadar niatnya.
5.
Semua
perbuatan yang mengandung manfaat dan mubah (boleh) jika diiringi dengan niat
karena mencari keridhaan Allah SWT maka perbuatan trsebut akan bernilai ibadah.
6.
Yang
dapat membedakan antara ibadah dengan adat (kebiasaan) adalah niat.
7.
Niat
meupakan bagian daripada iman, karena niat merupakan pekerjaan hati dan iman
menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jama’ah adalah membenarkan dalam hati
mengucapkan dengan lisan serta mengamalkan dengan perbuatan.
Allah SWT
menggambarkan keikhlasan dalam beramal sebagaimana seperti yang dimuat dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 265 sebagai berikut :
Artinya :
“dan perumpamaan orang yang menginfakkan
hartanya untuk mencari ridha Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti
sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat,
maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak
menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah maha melihat apa yang kamu
kerjakan.”
Ikhlas dalam beramal merupakan sikap
yang tiada mengharapkan tujuan lain selain daripada untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Ikhlas dalam beramal tidak boleh diikuti dengan niat riya, yaitu
mengharapkan pujian atau kehormatan dari sesamanya. Karena amal yang akan
dibalas oleh Allah SWT adalah amal yang dilakukan karena mengharap kasih dan
sayang-Nya, yaitu dengan keikhlasan di dalam hatinya.
Cara menghadirkan keikhlasan dan menghindarkan riya :
1.
Menghadirkan
sikap muraqabatullah, yaitu sikap yang menghayati bahwa Allah senantiasa
mengetahui segala gerak-gerik kita hingga yang sekecil-kecilnya, bahkan yang
tergores dan terlintas dalam hati sekalipun yang tidak pernah diketahui oleh
siapapun.
2.
Seseorang
perlu menyadari dan meyakini, bahwa dengan riya seluruh amalannya akan tidak
pernah memiliki arti sama sekali. Amalannya akan hilang sia-sia dan akan
musnah. Serta dirinya tidak akan pernah mendapatkan apapun dari usahanya
sendiri.
3.
Dirinya
pun perlu menyadari, bahwa lambat launpun manusia akan mengetahui apa yang
terdapat dibalik amalan-amalan baik yang dilakukannya, baik di dunia apalagi di
akhirat kelak.
Bahaya Riya Dalam Beramal.
Riya adalah memaksudkan amalan yang
dilakukan seseorang guna mendapatkan keridhoan manusia. Baik berupa pujian,
ketenaran, atau sesuatu yang diinginkannya selain Allah SWT.
Dr. Sayid Muhammad Nuh menggambarkan
adanya 3 (tiga) sebab timbulnya riya :
1.
Karena
ingin mendapatkan pujian dan nama baik di masyarakat.
2.
Kekhawatiran
mendapat celaan manusia.
3.
Menginginkan
sesuatu yang dimiliki orang lain (tamak)
yang terjadi pada zaman sekarang,
sudah banyak orang yang melakukan sesuatu pekerjaan (dalam beramal) dengan
mengharapkan imbalan atau timbal balik dari pekerjaan yang ia lakukan, serta
sudah banyak orang zaman sekarang yang malas melakukan suatu pekerjaan jika
tidak ada timbal baliknya. Terkadang kita lalai bahwa segala yang kita lakukan
sebaiknnya adalah karena mengharapkan ridho Allah SWT bukan mengharapkan
sesuatu dari manusia.
II.
TINGKAH LAKU TERPUJI
A.
Pentingnya Kejujuran
Jujur ialah salah satu dari sekian perkara mulia dan salah satu
akhlak agung dari akhlak-akhlak Al-Qur’an yang agung, akhlak agung yang telah
menghimpun seluruh karakter kebaikan serta perhiasannya orang-orang mulia dan
orang-orang yang baik.
B.
Kolerasi Kejujuran dan Kebijakan
Artinya :
Telah menceritakan Utsman bin Abi
Syaibah : telah menceritakan Jarir, dari Manshur, dari Abi Wasil, dari Abdullah
RA, dari Nabi SAW berkata : “sesungguhnya
kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan
sesungguhnya seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia ditulis di sisi
Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada
kejahatan dan kejahatan itu membawa ke neraka. Dan sesungguhnya seseorang akan
selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.”
Seorang muslim seharusnya adalah
orang yang jujur, mencintai kebenaran (lahir maupun batin) dalam perkataan
maupun perbuatan. Karena kebenaran itu menunjukkan kepada jalan menuju surga,
sedangkan surga itu puncak dari cita-cita tertinggi dari seorang muslim
tersebut. Sedangkan kedustaan menunjukkan kepada jalan menuju neraka, dan
neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat yang paling ditakuti seorang muslim.
Kejujuran adalah penyempurna sebuah
iman dan islam, sebab Allah SWT yang memerintahkan demikian.
C.
Jaminan Allah Terhadap Orang Yang Jujur
Artinya :
Telah menceritakan Utsman bin Abi
Syaibah : telah menceritakan Jarir, dari Manshur, dari Abi Wasil, dari Abdullah
RA, dari Nabi SAW berkata : “sesungguhnya
kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan
sesungguhnya seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia ditulis di sisi
Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada
kejahatan dan kejahatan itu membawa ke neraka. Dan sesungguhnya seseorang akan
selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.”
Seorang muslim seharusnya adalah
orang yang jujur, mencintai kebenaran (lahir maupun batin) dalam perkataan
maupun perbuatan. Karena kebenaran itu menunjukkan kepada jalan menuju surga,
sedangkan surga itu puncak dari cita-cita tertinggi dari seorang muslim
tersebut. Sedangkan kedustaan menunjukkan kepada jalan menuju neraka, dan
neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat yang paling ditakuti seorang muslim.
Kejujuran adalah penyempurna sebuah
iman dan islam, sebab Allah SWT yang memerintahkan demikian.
III.
ETOS KERJA
A.
Pekerjaan Yang Paling Baik
Artinya :
Qutaibah menyampaikan kepada kami
dari Al-Laits, dan Yazid bin Abu Habib, dari Atha’ bin Abu Rabah, dari Jabir
bin Abdullah bahwa ketika terjadi penaklukkan kota Makkah, “Allah dan
Rasul-Nya telah mengharamkan perdagangan khamr, bangkai, babi, dan berhala.
“orang-orang bertanya, “wahai Rasulullah! Bagaimana dengan lemak bangkai yang
biasa digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit; orang-orang juga
biasa menggunakannya untuk lampu?” beliau bersabda, “tidak, itu haram.”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “semoga Allah mengutuk orang-orang Yahudi,
ketika Allah mengharamkan lemak hewan untuk mereka, mereka melelehkan lemak
tersebut, lalu menjualnya dan memakan uang hasil penjualannya.”
Islam senantiasa mengajarkan kepada
umatnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim
berpangku tangan saja atau berdo’a mengharapkan rezeki yang datang dari langit
tanpa mengiriginya dengan usaha. Namun, tidak dibenarkan pula terlalu
mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan Allah dan tidak mau
berdo’a kepada-Nya. Oleh karena itu, seorang muslim selayaknya mencari rezeki
dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, rezeki yang di usahakan haruslah halal, tidak
hanya mengutamakan penghasilan yang banyak tanpa mengindahkan aturan-aturan
yang telah ditetapkan. Tentu saja pekerjaan apapun tidak dilarang selama tidak
bertentangan dengan syari’at Islam (berada pada koridor kebaikan).
B.
Larangan Meminta-minta
Artinya :
Abu An-Nu’man menyampaikan kepada
kami dari Hammad bin Zaid, dari Ayub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang berkata,
aku mendengar dari Nabi SAW; dalam sanad lain disebutkan, bahwa Abdullah bin
Maslamah menyampaikan dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar bahwa
Rasulullah SAW bersabda ketika berada di mimbar. Beliau menyebutkan tentang
sedekah, menjaga diri (dari meminta-minta), dan mengemis, “tangan di atas lebih
baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah pemberi dan tangan di
bawah adalah peminta-minta.”
Islam memerintahkan kepada kita agar
bekerja keras dan tidak meminta-minta (mengemis) karena mengemis adalah
pekerjaan yang tercela.
Pelajaran yang tekandung dalam
hadits :
1.
Memotivasi
dan anjuran untuk berusaha, bekerja dan mencari rizki yan baik. Dan juga
bahwasanya Islam itu adalah aturan agama dan Negara. Sebagaimana islam
memerintahkan ummatnya untuk menunaikan hak Allah SWT (ibadah), maka islam juga
memerintahkan untuk mencari rizki dan untuk berusaha memakmurkan dan mengembangkan
bumi.
2.
Pekerjaan
atau mata pencaharian terbaik adalah pekerjaan seseorang yang menggunakan
tangannya sendiri (berusaha sendiri)
Artinya :
Musa bin Ismail menyampaikan kepada
kami dari Wuhaib, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Hakim bin Hizam bahwa Nabi
SAW bersabda, “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Mulailah
dengan memberi nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu.
Sebaik-baiknya sedekah adalah ketika dalam keadaan berkecukupan. Siapa yang
berusaha menjaga diri (untuk tidak meminta-minta), Allah akan menjaganya. Siapa
merasa berkecukupan (dengan apa yang ada), Allah akan mencukupinya.”
Artinya :
Yahya bin Bukair menyampaikan kepada
kami dari Al-Laits, dari Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Abu Ubaid Maula
Abdurrahman bin Auf yang mendengar dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “seseorang yang mengumpulkan seikat kayu bakar lalu membawanya di
atas punggung itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik
diberi maupun tidak diberi.”
Islam menganjurkan kepada kita untuk
memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Baik berupa zakat,
infak, dan shodaqoh (sedekah). Islam juga menganjurkan kita untuk menanam
investasi kebajikan dengan cara memberikan shodaqoh sebanyak-banyaknya.
Islam sangat mencela orang yang
mampu untuk berusaha dan mempunyai badan yang sehat, tetapi ia tidak mau
berusaha atau bekerja keras melainkan ia hanya menggantungkan kehidupannya
kepada orang lain.
Namun ada banyak faktor yang
mendorong seorang meminta-minta :
1.
Kemiskinan
yang di alami oleh orang-orang yang kesulitan ekonomi
2.
Ketidakberdayaan
3.
Tidak
mempunyai gaji yang tetap
4.
Tidak
mempunyai keahlian atau keampuan khusus
C.
Ujian Allah Terhadap Muslim Yang Taat
Artinya :
Abu Al-Yaman Al-Hakam bin Nafi’
menyampaikan kepada kami dari Syu’aib yang mengabarkan dari Az-Zuhri, dari
Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah (istri Nabi) bahwa Rasulullah SAW bersabda : “tidak
ada satupun musibah yang menimpa seorang muslim, kecuali Allah akan
menjadikannya sebagai kafarat untuknya, meskipun hanya berupa sebuah duri yang
melukainya.”
Menjalani liku-liku hidup sebagai
seorang manusia, kita tidak dapat lari dari ujian yang diberikan oleh Allah
SWT. ujian yang datang selalu menjadikan kita lebih tegar dan kuat.
Sebagaimana diberitakan dalam firman
Allah SWT :
Artinya :
“dan kami menguji kamu dengan
kesusahan dan kesenangan sebagai dugaan, dan kepada Kami-lah kamu semua akan dikembalikan.”
(Al-Anbiya : 35)
Begitu banyak saat ini yang
menjadikan pengemis sebagai profesi. Pedahal ia masih sangat mampu untuk
bekerja, akan tetapi atas dasar kemalasannya maka ia jadikan mengemis menjadi
jalan mudah untuk mendapatkan uang. Karena menengadahkan tangan ia mendapatkan
uang dari orang-orang. Pedahal pengemis adalah profesi yang tercela.
IV.
LARANGAN KORUPSI DAN KOLUSI
Korupsi merupakan salah satu
perbuatan yang dilarang, karena korupsi merusak mental atau akhlak suatu bangsa
yang bisa dikenakan tindak pidana sebagai hukumannya. Untuk menanggulanginya,
harus memahami dan kemudian merealisasikannya dalam perbuatan.
Korupsi secara implicit adalah
menyalah gunakan kewenangan, jabatan atau amanah serta melawan hukum untuk
memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi dan kelompok tertentu yang dapat
merugikan kepentingan umum.
Sedangkan kolusi ialah permufakatan
atau kerjasama melawan hukum antar penyelenggaraan Negara dengan pihak-pihak
lainnya (masyarakat atau Negara). Atau bisa juga di artikan bahwa kolusi adalah
kerjasama secara rahasia dengan maksud tidak terpuji atau persekongkolan.
A.
Larangan Melakukan Riswah
Menyuap dalam masalah hukum adalah
memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya.
Perbuatan tersebut sangat dilarang
dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang
diterima dari hasil menyuap tesebut tergolong kedalam kategori harta yang
diperoleh dengan jalan bathil (harta yang haram).
Allah SWT berfirman :
Artinya :
“dan janganlah sebagian dari kamu
memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.” {Q.S
Al-Baqarah : 188}
Praktek suap menyuap sangat
berbahaya bagi kehidupan masyarakat, karena akan merusak berbagai tatanan
sistem yang ada di masyarakat, dan menyebabkan terjadinya kecerobohan serta
kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan
dengan uang, akibatnya terjadi kekacauan dan ketidak adilan.
Tak heran jika Rasulullah SAW
memohon agar orang yang memiliki andil dalam urusan suap menyuap agar semuanya
dijauhkan dari rahmat Allah SWT.
Jadi, diharamkan mencari suap,
menyuap dan menerima suap. Begitu juga mediator antara penyuap dan yang disuap.
B.
Larangan Pejabat Menerima Hadiah
Artinya :
Telah diceritakan oleh Abu Yaman :
telah mengabarkan Syuaib, dari Zuhri berkata : telah mengabarkan urwah : dari
Abu Humaid As-Saidi, ia berkata : Rasulullah SAW telah memberikan tugas kepada
seorang lelaki dari kaum Al-Asad yang dikenali sebagai Ibnu Lutbiyah. Ia ikut
Amru dan Ibnu Abu Umar untuk urusan sedekah. Setelah kembali dari menjalankan
tugasnya, lelaki tersebut berkata kepada Rasulullah SAW : ini untuk anda dan
ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku. Setelah mendengar kata-kata
tersebut, lalu Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar. Setelah mengucapkan
puji-pujian kehadirat Allah SWT, beliau bersabda : “adakah patut seorang
petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas berani berkata : ini untuk
anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku ? kenapa dia tidak
duduk dirumah bapak atau ibunya (tanpa memegang jabatan apa-apa) sehingga ia
menunggu, apakah dia akan dihadiahi sesuatu atau tidak ? demi dzat Muhammad
yang berada ditangannya, tidaklah salah seseorang dari kalian mengambil sesuatu
darinya kecuali pada hari kiamat kelak dia akan datang dengan memikul di atas
lehernya (jika yang di ambil itu seekor unta maka) seekor unta itu akan
mengeluarkan suaranya, atau seekor lembu yang melenguh atau seekor kambing yang
mengambik. “kemudian beliau mengangkat kedua-dua tangannya tinggi-tinggi
sehingga Nampak kedua ketiaknya yang putih, dan beliau bersabda : “yaAllah !
bukankah aku telah menyampaikannya.” Sebanyak dua kali.”
Kandungan makna hadits :
Nabi Muhammad SAW mempekerjakan
seorang laki-laki maksudnya adalah seorang laki-laki dari suku Azad yang
bernama Ibnu Lutbiyah untuk mengurus sedekah (zakat).
Sedangkan hadits Abu Hamid,
sesungguhnya Nabi SAW mencela perbuatan Ibnu Lutbiyah yang menerima hadiah yang
diberikan kepadanya. Karena, kedudukannya sebagai seorang pegawai pemerintah.
Kemudian kalimat-kalimat mengapa dia tidak duduk dirumah ibunya, member faidah
bahwa sekiranya dia diberi hadiah dalam kondisi seperti itu, niscaya hukumnya
makruh, karena tidak ada faktor yang menimbulkan kecurigaan.
Saat ini suap menyuap sudah menjadi
kebiasaan umum. Bagi sebagian pegawai, suap menyuap menjadi pemasukkan yang
hasilnya bahkan bisa lebih banyak dari gaji pokok yang mereka peroleh.
Kondisi korupsi dan kolusi zaman
sekarang. Lihatlah di negri ini pengurus birokrasi yang seringkali mempersulit
suatu urusan dengan kebohongan sana-sini, yang ujung-ujungnya bisa mudah jika
ada uang pelicin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar