TANGGUNG JAWAB
KEPEMIMPINAN
Makalah ini
ditujukan guna memenuhi tugas mata kuliah :
HADITS
Dosen Pengampu
:
Drs. H. M. Aswad
Disusun Oleh :
Andini Nursyarifah (11150530000049)
Arif Indriyanto (111505300000)
Jurusan
Manajemen Dakwah
Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya, kelompok kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam
senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarganya dan para sahabatnya. Serta tak lupa pula kepada kita semua selaku
umatnya hingga akhir zaman. Amiin.
Makalah
ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah FIQIH oleh dosen pengampu Bpk.
Aswad. Kami ucapkan terima kasih kepada beliau atas bimbingan dan saran
sehingga terwujudnya makalah ini.
Tidak
ada yang sempurnya di dunia ini selain Allah SWT. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang sifatnya membangun, kami harapkan agar terciptanya pendekatan kepada
taraf yang sempurna. Dan semoga apa yang tersajikan dalam makalah ini berguna
bagi pembaca pada umumnya.
Terima kasih J
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
Pembahasan Makalah
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Setiap
Muslim Merupakan Pemimpin
B.
Pemimpin
Adalah Abdu Masyarakat
C.
Batas
Ketaatan Kepada Pemimpin
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Gelar pemimpin umat adalah layak
diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi
umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan.
Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang
disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan
guna keselamatan orang yang diantarkannya.
Tidak hanya sekedar mengantar para
anggotanya agar sampai pada tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga
harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan
terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia
memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat
realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria
yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi
mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi
demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka
tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan
di kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan
seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang
terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang terhadap bagaimana cara
menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu
melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan
suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab dan
mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan yang dimaksud dengan Setiap Muslim Merupakan
Pemimpin!
2.
Apa yang dimaksud dengan Pemimpin adalah Abdi Masyarakat?
3.
Apa batasaan ketaatan kepada pemimpin?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui bahwa setiap muslim merupakan pemimpin.
2.
Untuk menjelaskan bawa pemimpin adalah abdi masyarakat.
3.
Untuk mengetahui batasan mentaati pemimpin.
BAB II
PEMBAHASAN
Tanggung Jawab Kepemimpinan
A.
Setiap Muslim Merupakan Pemimpin
Musaddad bercerita : Yahya bercerita, berkata Ubaidillah : aku bercerita
kemanfaatan, dari Abdullah R.A : Bahwasannya telah bersabda Rasulullah SAW :
((Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya. Setiap pemimpin atas semua manusia adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggung jawabannya. Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin atas
keluarganya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarga yang
dipimpinnya. Seorang perempuan (istri) adalah pemimpin atas rumah (harta) suami
dan anak-anaknya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.
Seorang hamba (pembantu) adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Ketauhilah setiap kalian
adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya)).
Tanggung jawab menurut kamus besar
Bahasa Indonesia W. J. S. Poerwadarminta adalah “keadaan wajib menanggung
segala sesuatu” artinya jika ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan,
dan sebagainya. Tanggung jawab ini pula memiliki arti yang mempunyai arti, yang
dilakukan kemudian ia berani memikul segala resikonya.
Seperti yang disampaikan oleh Al-Hadits, Shahih Bukhari
no. 2554 “Setiap orang dari kamu adalah pemimpin, dan kamu bertanggung jawab
atas kepemimpinan itu”. Makna dari istilah tanggung jawab adalah siap
menerima kewajiban atau tugas. Arti tanggung jawab di atas semestinya sangat
mudah untuk dimengerti oleh setiap orang.
Tanggung
jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang
disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat
sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat
kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia
pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab,
maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian
tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang
berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Dan sisi si pembuat ia harus
menyadari akibat perbuatannya itu, dengan demikian ia sendiri pula yang hams
memulihkan ke dalam keadaan baik. Dan sisi pihak lain, apabila si pembuat tidak
mau bertanggung jawab, pihak lain yang akan memulihkan baik dengan cara
individual maupun dengan cara kemasyarakatan.
Dalam
sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan
dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak
dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan,
jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu
dilakukannya.
Demikian
juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadapkeluarganya. Seperti orang
yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan
wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri
yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta
suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.
B.
Pemimpin Adalah Abdi Masyarakat
Abu Nu’aim bercerita : Abu Al-Asyhab bercerita, dari Hasan : Bahwasannya
Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qil bin Yasar yang sedang sakit dan ia
meninggal karenanya (sakit), maka Ma’qil berkata kepada Ubaidillah : Akan ku
ceritakan sebuah Hadits yang aku dengar dari Rasulullah SAW : Aku mendengar
Nabi SAW bersabda : ((Tidaklah seorang hamba yang Allah telah titipkan
kepemimpinan dan ia tidak menasihatinya, maka ia tidak akan mencium wanginya
surga))
Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang tonggak
kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik an
selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang
ahli dalam bidangnya. Menolak
bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
Sebagaiman
firman Allah ta’ala: “dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang
mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)
Yakni
janganlah bersikap tinggi terhadapa mereka, jangan merasa tinggi akan tetapi
rendahkanlah walaupun kamu orang yang berkedudukan tinggi dibanding mereka,
maka hendaklah tetap merendahkan diri.
Asbabun
nuzul ayat tersebut adalah, dalam suatu riwayat dikemukakan ketika Rasulullah
saw memulai dakwahnya kepada keluarga terdekatnya. Hal ini menyinggung perasaan
kaum muslimin (merasa terabaikan) sehingga Allah menurunkan ayat selanjutnya
ayat 215 sebagai perintah untuk juga memperhatikan kaum mu’minin lainnya
(diriwayatkan oleh ibnu Jabir yang bersumber dari ibnu Juaid).
Maka dari
itu, siapa saja yang berkuasa mengendalikan urusan umat Islam, baik dalam
kedudukannya sebagai amir (gubernur), khalifah, kepala Negara/pemimpin rakyat
dalam biang tugas tertentu, lalu dia dibebankan rakyatnya dan menjalankan
pemerintahannya itu dengan hal-hal yang menimbulkan kesulitan bagi rakyatnya.
Maka nabi mendoakan supaya sang pemimpin itu ditimpakan siksaan Tuhan.
Sebaliknya
barang siapa yang menjadi pemimpin dan bertinak dengan lemah lembut. Maka Nabi
mendoakan mudah-mudahan Tuhan juga lemah lembut terhadap dirinya.
C.
Batas Ketaatan Kepada Pemimpin
Umar bin Hafsi bin Ghiyats bercerita : Bapakku bercerita : A’masy bercerita
: Sa’ad bin Ubaidah bercerita, dari Abi Abdurrahman, dari Ali R.A : Rasulullah
SAW mengutus pasukan dan mengangkat seorang laki-laki dari kaum Ansor untuk
memimpin tentara dan Nabi memerintahkan tentara untuk menaatinya. Laki-laki itu
marah kepada tentara dan berkata : “Bukankah Nabi SAW telah memerintahkan
kalian untuk mengikutiku?”. Tentara itu menjawab : “Ya”. Laki-laki itu berkata
: “Aku memerintahkan kepada kalian untuk mengumpulkan kayu bakar dan nyalakan
api, kemudian masuklah kalian kedalamnya”. Maka mereka mengumpulkan kayu dan
membakarnya. Tetapi tatkala mereka hendak masuk kedalam kubaran api, mereka
berdiri dan menatap satu sama lain, sebagian mereka berkata : “kami hanya
mengikuti Nabi SAW yang menjauhi api, apakah kami harus mengikuti nya ? “. Ketika
mereka berselisih seperti itu tiba-tiba api itu mati dan laki-laki itu berhenti
dari kemarahan nya. Maka dikataka permasalahan itu kepada Nabi SAW, dan Nabi
bersabda : ((seandainya mereka memasuki api itu maka mereka tidak akan keluar
selamanya, sesungguhnya taat hanya pada kebaikan)).
Firman
Allah SWT: “kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS. An-Nisa:
59)
Masih
berkaitan dengan surah annisa ayat 59, al-hafidh ibnu hajar berpendapat bahwa
maksud kisah Abdullah bin hudzafah, munasabah atau keterkaitan disangkut
pautkan dengan alasan turunnya ayat ini (surah an-nisa: 59), karena dalam kisah
itu dihasilkan adanya perbatasan antara taat kepada pemerintah (pimpnan) dan
menolak perintah, ntuk terjun ke dalam api. Ayat ini turun memberikan petunjuk
kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya.
Karena
perintah penguasa itu terbagi tiga bagian:
- Perintah yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah ta’ala maka wajib ditaati
- Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan metaati mereka apapun yang terjadi jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal ini (tidak mentaati) maka mereka akan dibalas pada hari kiamat oleh Allah SWT
- Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak ada perintah atau larangan syar’I, di dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati termasuk orang-orang yang berdosa, dan penguasa berhak ember hukuman dengan sesuatu yang mereka pandang sesuai, karena telah melanggar perintah Allah dalam mentaati mereka.
Maka dari
itu wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama yang
diperintahkannya itu tidak merupakan perbutan maksiat.
Apabila yang
diperintahkan itu merupakan perbuatan maksiat yang tidak dibenarkan oleh
syara’, maka rakyat tidak boleh mendengar dan mematuhi perintah itu.
Bercerita Musaddad : Yahya bin Sa’id Bercerita, dari Ubaidillah :
menceritakanku kemanfaatan, dari Abdullah R.A, dari Nabi SAW bersabda :
((Mendengar dan menaati atas seorang muslim dalam hal suka ataupun benci,
selama tidak memerintahkan kepada maksiat, apabila diperintahkan kepada
kemaksiatan, maka janganlah mendengar serta mentaatinya))
Sabda
Rasulullah saw: “wajib atas seorang muslim”, kalimat ini menunjukkan kewajiban.
Maka wajib bagi seseorang muslim berdasarkan keislamannya untuk selalu
mendengarkan dan menaati pemerintah. Baik dalam hal yang ia sukai maupun yang
ia benci. Walaupun ia memerintahkan dengan sesuatu yang dibencinya, namun ia
wajib melaksanakannya, kecuali jika perintah itu bermaksiat kepada Allah, maka
ketaatan kepada Allah itu diatas segala ketaatan. Tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam bermaksiat terhadap khaliq.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tanggung
jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang
disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat
sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat
kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia
pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab,
maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian
tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang
berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain. Dan sisi si pembuat ia harus
menyadari akibat perbuatannya itu, dengan demikian ia sendiri pula yang hams
memulihkan ke dalam keadaan baik. Dan sisi pihak lain, apabila si pembuat tidak
mau bertanggung jawab, pihak lain yang akan memulihkan baik dengan cara
individual maupun dengan cara kemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar