PENGERTIAN DEKOKRASI
Apa itu demokrasi ?
Secara
etimologis, kata demokrasi (dari bahasa Yunani) adalah berbentukan dari dua
kata demos (rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan).
Perpaduan dua kata tersebut membentuk kata demokrasi yang memiliki pengertian
sebagai bentuk pemerintahan rakyat (government of the people) dimana kekuasaan
tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan secara langsung oleh rakyat
dan melalui para wakil mereka melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung
secara bebas. Secara subtansional, demokrasi adalah – sepertti yang pernah
dikatakan oleh Abrahan Lincolm – suatu pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat.
Sejarahnya,
demokrasi sering bersanding dengan kebebasan (freedom). Namun demikian,
demkrasi dan kebebasan tidaklah identic: demokrasi merupakansebuah kumpulan ide
dan prinsip tentang kebebasan, bahkan juga mengandung sebuah praktik dan
prosedur menanggapi kebebasan yang berbentuk melalui perjalanan sejarah yang
panjang dan berliku. Secara singkat, demokrasi merupakan bentuk institusional
dari kebebasan (institutionalization of freedom). Bersandar pada argument ini,
untuk melihat apakah suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis atau tidak terletak pada sejauh mana
oemerintahan tersebut berjalan pada prinsip konstitusi, hak asasi manusia, dan
persamaan warga negara dihadapan hukum.
Hakikat
demokrasi adalah proses bernegara yang bertumpu pada peran utama rakyat sebagai
pemegang tertinggi kedaulatan. Dengan kata lain, pemerintahan demokrasi adalah
pemerintahan yang meliputi tiga hal mendasar : pemerintahan dari rakyat (government
of the people), pemerintarahn oleh rakyat (government by the people),
dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people). Ketiga
prinsip demokrasi ini dapat dilakukan ini dapat dilakukan sebagai berikut :
1.
Pemerintahan
dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian bahwa suatu
pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan
dukungan mayoritas rakyat melalui meokrasi, pemilihan umum.
2.
Pemerintarahn
oleh rakyat (government by the people) memiliki pengertian bahwa suatu
pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan
priadi elite negara atau elite birokrasi.
3.
Pemerintahan
untuk rakyat (government for the people) mengandung pengertian bahwa
kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk
kepentingan rakyat.
NORMA DAN PILAR DEMOKRASI
Demokrasi tidak datang dengan tiba-tiba
dari langit. Ia merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran, dan
penghayatan. Untuk tujuan ini dukungan sosial dan lingkungan demokratis adalah
mutlak dibutuhkan.
Menjadi demokratis membutuhkan norma dan
rujukan praktis serta teoretis dari masyarakat yang telah maju dalam berdemokratis.
Menurut cendikiawan Muslim Nurcholish Madjid, pandangan hidup berdemokratis
dapat bersandar pada bahan-bahan yang telah nerkembang, baik secara teoretis
maupin pengalaman praktis di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan.
Setidaknya ada enam norma atau unsur pokok yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat
yang demokratis, yaitu :
1. Kesadaran akan pluralisme. Kesadafan akan kemajemukan tidak sekadar
pengakuan pasif akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Kesadaran atas
kemajemukan yang menghendaki tanggapan dan sikap positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif.
Pengakuan akan kenyataan perbedaan harus diwujudkan dalam sikap dan prilaku
meghargai dan mengakomodasi beragam pandangan dan sikap orang dan kelompok
lain, sebagai bagian dari kewajiban warga negara san negara untuk menjaga dan
melindungi hak orang lain untuk diikutin keberadaannya.
2. Musyawarah. Makna dan semangat musyawarah ini ialah mengharuskan adanya
jeinsafan dan kedewasaan warga negara untuk secara tulus menerima kemungkina
untuk melakukan negosiasi daan kompromi-kompromi sosial dan politik secara
damai dan bebas dalam keputusan bersama.
3. Cara haruslah sejalan dengan tujuan. Norma ini menekankan bahwa hidup
berdemokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan
tujuan. Dengan ungkapan lain, demokrasi oada hakikatnya tidak hanya sebatas
pelaksanaan prosedur-prosedur demokrasi, tetapi harus dilakukan secara santun
dan beradab, yakni melalui proses pelaksanaan demokrasi yang dilakukan tanpa
paksaan, tekanan, dan ancaman dari dan oleh siapapun, tetapi dilakukan secara
sukarela, dialogis, dan saling menguntungkan.
4. Norma kejujuran dan pemufakatan. Suasana masyarakat demokratis dituntut
untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat untuk mencapai
kesepakatan yang memberi keuntungan semua pihak.
5. Kebebasan nurani, persamaan hak, dan kewajiban. Pengakuan akan kebebasan
nurani (freedom conscience), persamaan hak dan kewajiban bagu semua
(egalitarinisme) merupakan norma demokrasi yang harus diinterasikan dengan
sikap percaya pada itikad yang baik jika ditopang oleh pandangan positif dan
optimia terhadap manusia.
6. Trial and error (percobaan dan salah) dalam berdemokrasi. Demokrasi
membutuhkan percobaan-percobaan dan kesediaan semua pihak untuk menerima
kemungkinan, ketidaktepatan atau kesalahan dalam berdemokrasi.
Dalam praktik pemerintahan yang dibangun
berdasarkan prinsip demokrasi, terdapat beberapa pilar-pilar demokrasi sebagai
indikator umum sebuah pemerintahan demokrasi konstitusional. Pakar politik J. Kristiadi
menyebutkan sepuluh pilar demokrasi sebagai berikut:
1. Kedaulatan rakyat
2. Pemerintahan berdasarkn persetujuan yang diperintah
3. Kekuasaan mayoritas (hasil pemilu)
4. Jaminan hak-hak minoritas
5. Jaminan hak-hak asasi manusia
6. Persamaan di depan hukum
7. Proses hukun yang beradilan
8. Pembatasan kekuasaan pemerintah melalui konstitusi
9. Pluralisme sosial
10. Dikembangkannya nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan
mufakat.
DEMOKRASI
INDONESIA
Sejarah demokrasi di Indonesia dapat dibagi
ke dalam empat periode :
1. Periode 1945-1959
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer.
Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan
diproklamirkan. Namun demikian, model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk
Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi untuk mempraktikkan demokrasi model barat
ini telah memberi peluang sangat besar kepada partai-partai politik untuk
mendominasi kehidupan sosial-politik.
Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan sistem demokrasi parlementer
ini akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan
agama. Akibatnya, pemrintahan yang berbasis pada koalisi politik lada masa ini
jarang bertahan lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pevah. Hal ini
mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional
yang sedang di bangun. Persaingab tidak sehat antara faksi-faksi politik dan
pembentrokan daerah terhadap pemerintahan pusat yang mengancam berjakannya demokrasi
itu sendiri.
2. Periode
1959-1965
Periode ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (guided
democracy). Ciri-ciri demokrasi ini adalah demokrasi politik presiden dan
berkembangnya pengaruh komunis dan peran tentara (ABRI) dalam panggung politik
nasional. Hal ini disebabkan oleh lahirnya dekrit presiden 5 Juli 1959 sebagai usaha untuk mencari jalan
keluar dari kebutuhan politik melalui pembentuka kepemimpinan personal yang
kuat. Sekalipun UUD 1945 memberi peluang seorang presiden untuk memimpin pemerintahan
selama 5 tahun, ketetapan MPRS No. III/1963 mengangkat Ir. Soekarno sebagai
presiden seumur hidup. Dengan lahirnya keteapan MPRS ini secara otomatis telah
membatalkan pembatasan waktu 5 tahun sebagai mana keteapan UUD 1945.
Kepemimpinan presiden tanpa batas ini terbukti melahirkan tindakan
kebijakan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan UUD 1945. Misalnya, pada
tahun 1960 presiden Soekarno membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil
pemikiran umum, padahal dalam penjelasa UUD 1945 secra eksplisit ditentukan
bahwa presiden tidak memenuhi wewenang untuk berbuat demikian. Dengan kata
lain, sejak diberlakukan dekrit presiden
1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh presiden Soekarno.
3. Periode 1965-1998
Periode ini merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde
Barunya. Sebutan Orde Baru merupakan kritik
terhadap periode sebelumnya, orde lama.seiring pergantian kepemimpina
nasional, demokrasi terpimpin ala Presiden Soeharto telah di ganti oleh elit
orde baru dengan demokrasi pancasila.
Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya yang menetapkan masa jabatan
presiden seumur hidup untuk Presiden Soekarno telah dihapuskan dan diganti
dengan pembatasan jabatan presiden 5 tahun dan dapat dipilih kembali melalui
proses pemilu.
Seperti dikatakan oleh M. Rusli Karim, ketidakdemokratisan penguasa orde
baru ditandai oleh:
(1) Dominannya
peranan militer (ABRI)
(2) Birokratisasi
dan sentralisasi pengambilan keputusan politik
(3) Pengebirian
peran dan fungsi partai politik
(4) Campur
tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan public
(5) Politik masa
mengambang
(6) Monolitisasi
ideology Negara
(7) Inkorporasi
lembaga non-pemerintahan.
4. Periode
Pasca-Orde baru
Periode pasca orde baru sering disebut dengan era reformasi. Periode ini
erat hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan
demokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya
presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan orde baru pada Mei 1998 setelah lebih
dari 30 tahun berkuasa dengan demokrasi pancasilanya.
Pengalaman pahit yang menimpa pancasila, yang pada dasarnya sangat
terbuka, inklusif, dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan
tokoh reformasi untuk menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi.
Bercermin pada pengalaman manipulasi atas pancasila oleh penguasa orde baru,
demokrasi yang hendak dikembangkan setelah kejatuhan rezim orde baru adalah
demokrasi tanpa nama atau demokrasi tanpa embel-embel dimana hak rakyat
merupakan komponen inti dalam mekanisme dan pelaksanaan pemerintah yang
demokratis. Wacana demokrasi pasca orde baru erat kaitannya dengan pemberdayaan
masyakat madani (civil society) dan penegakkan HAM secara sungguh-sungguh.
ISLAM DAN DEMOKRASI
Terdapat tiga pandangan terhadap Islam dan
demokrasi : Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua system politik yang
berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi karena Islam
merupakan system politik yang mandiri (self-sufficient). Dalam bahasa politik,
Islam sebagai agama yang affah (sempurna) tidak saja mengatur keimanan (akidah)
dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk aspek
kehidupan bernegara. Pendapat ini didukung oleh kalangan pemikir muslim seperti
Sayyid Qutb dan Thabathabai.
Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi jika demokrasi
didefinisikan secara secara procedural seperti di fahami dan dipraktikkan di
negara-negara barat. Kelompok kedua ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi
dalam Islam. Tetapi mengakui adanya perbedaan antara Islam dan demokrasi. Dalam
pandangan ini, demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan Islam setelah
diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara
tokoh ini adalah Al-Maududi dan Moh. Natsir.
Ketiga, Islam adalah system iai yang membenarkan dan mendukung system
politik demokrasi seperti yang dipraktikkan di negara-negara maju. Islam di
dalam dirimya demokratis tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi
juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma’ (consensus). Seperti yang
dinyatakan oleh pakar ilmu politik R. William Liddle dan Saiful Mujani, di
Indonesia pandangan yang ketiga karena demokrasi sudah menjadi bagian integralsitem
pemerintahan Indonesia dan beberapa negara Muslim lainnya.
Terdapat beberapa argument teoritis yang bisa
menjelaskan lambannya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam. Pertama,
pemahaman doctrinal menghabat praktik demokrasi.
Kedua, personal kultur. Demokrasi sebenarnya telah
dicoba di negara-negara muslim sejak paruh pertama abad ke dua puluh, tetapi
gagal. Tampaknya, ia tidak akan sukes pada masa-masa mendatang, karena warisan
kulturan masyarakat Muslim sudah terbiasa denga autokrasi dan ketaatan absolut
kepada pemimpin, baik pemimpin agama maupun penguasa.
Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di negara
Islam tidak ada hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait
dengan sitem alamiyah demokrsi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi
diperlukan kesungguhan, kesabaran, dan di atas segalanya adalah waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar